Sabtu, 19 Desember 2009

Senin, 11 Mei 2009

strategi lembaga pendidikan tinggi

STRATEGI LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI
DALAM TRANSFORMASI SOSIAL
*

Muhsin Mahfudz
**

I. Pendahuluan
Kebutuhan terhadap Perguruan Tinggi merupakan hal yang niscaya untuk merespons problem kehidupan manusia yang kompleks seiring kemajuan sains dan teknologi. Sebagian komponen masyarakat terdidik menyadari bahwa lembaga pendidikan tinggi semakin penting sebagai event-grade perubahan sosial dalam masyarakat menuju kehidupan yang lebih bermartabat, berkeadaban dan bermakna. Pada saat yang sama, Perguruan Tinggi semakin mengukuhkan visinya sebagai centre of excellence dalam penguatan aspek moral dan intelektual manusia.
Secara filosofis, manusia sebagai makhluk Allah telah dilengkapi dengan berbagai potensi dan kemampuan. Potensi itu pada dasarnya merupakan anugerah Allah kepada manusia yang mestinya dimanfaatkan dan dikembangkan. Di samping memiliki kesamaan dalam sifat dan karakteristiknya, potensi tersebut juga memiliki tingkat dan jenis yang berbeda-beda. Pendidikan dan pengajaran pada umumnya berfungsi untuk mengembangkan potensi tersebut agar menjadi aktual dalam kehidupan sehingga berguna bagi orang yang bersangkutan, masyarakat dan bangsanya serta menjadi bekal untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Dalam pembangunan nasional, manusia memiliki peranan yang strategis yaitu sebagai subyek pembangunan. Untuk dapat menyelesaikan peran subyektifnya, maka manusia Indonesia harus dikembangkan menjadi manusia yang utuh dan berkembang semua potensinya secara wajar. Pendidikan tinggi mengemban amanah dalam mengembangkan potensi tersebut agar tercipta manusia utuh sekaligus merupakan sumber daya pembangunan.
Selanjutnya, pendidikan nasional berusaha menciptakan keseimbangan antara pemerataan kesempatan dan keadilan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik di semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tanpa dihambat oleh perbedaan jenis kelamin, suku, budaya dan agama. Meskipun demikian, kesempatan yang sama tersebut pada akhirnya akan sangat ditentukan oleh kondisi obyektif peserta didik, yakni kesiapan dan kemauannya untuk berkembang dan mencapai keunggulan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan intensitas bukan hanya memberikan kesempatan yang sama, melainkan memberikan perlakuan yang sesuai dengan kondisi obyektif peserta didik.
Idealisasi konsep filosofis pendidikan tinggi di atas, terkadang – untuk tidak mengatakan umumnya – bertentangan dengan realitas dunia pendidikan berbasis kampus. Banyak di antara Perguruan Tinggi mempertontonkan kepada kita “alienasi kampus” atau “eksklusifisme kampus”. Lembaga pendidikan tinggi sering dipandang sebagai dunia lain dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam pandangan sebagian masyarakat, lembaga pendidikan tinggi dipandang sangat elitis dan jauh dari keterjamahan masyarakat awam.
Kelihatannya, ada upaya yang sedang dibangun oleh masyarakat kampus ke arah aktualisasi peran dalam masyarakat, akan tetapi dengan cara-cara elitis dan kekuasaan yang ditempuhnya, justru sering melukai perasaan masyarakat luas. Oleh karena itu, diperlukan sinkronisasi antara konsep filosofis, metode dan implementasi peran lembaga pendidikan tinggi dalam perubahan sosial.

II. Anomali Perguruan Tinggi di Indonesia
Tidak bermaksud mengeneralisir semua Perguruan Tinggi, tetapi anomali yang dipertontonkan oleh sebagian Perguruan Tinggi ternama di Tanah Air cukup berperan besar mencitrakan dunia pendidikan tinggi sebagai lembaga yang mudah melakukan vandalisme dan brutalisme.
Pasca jatuhnya regim Orde Baru, 1998, Perguruan Tinggi merasa memiliki andil besar dalam peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi. Sayangnya, andil yang cukup menyejarah itu tidak dikawal dengan baik oleh rasionalitas dan moralitas sehingga kemenangan dunia kampus direspons secara berlebihan dan euforik. Dekade terakhir, masyarakat kampus menyuguhkan model unjuk rasa yang kurang bersahabat bagi masyarakat luar kampus. Jalanan disulap menjadi pengadilan, brutalisme dijadikan model pembelajaran kebebasan berpendapat dan vandalisme dilegitimasi untuk subuah perusakan terhadap fasilitas umum.
Seakan melangkapi anomali yang berlangsung dalam dunia pendidikan tinggi, banyak Perguruan Tinggi hanya melaksanakan fungsi otoritasnya mengeluarkan gelar akademik dengan mengabaikan fungsi esensialnya secara akademik. Mungkin sudah akrab ditelinga kita bahwa ada Perguruan Tinggi yang melakukan “komersialisasi gelar akademik” karena kondisi dilematis yang diciptakan oleh manajemennya sendiri. Kondisi dilematis yang saya maksud adalah keinginan Perguruan Tinggi mendapatkan mahasiswa yang banyak tetapi tidak memiliki daya saing di tengah ketatnya kompetisi yang menawarkan kualitas dan kenyamanan. Akhirnya, Perguruan Tinggi yang tidak rela tergilas menempuh cara-cara yang instan untuk mendapatkan input dengan “menjual” kemudahan memperoleh gelar tanpa harus “berdarah-darah” melewati bangku kuliah.
Kondisi ini, tentu, tidak akan terjadi jika Perguruan Tinggi berpegang teguh pada misi dan visinya. Perguruan Tinggi adalah tempat penyelenggaraan pendidikan tinggi di mana mahasiswa menjadi seorang profesional atau ilmuwan, dan menjadi orang terpelajar (Ortega, 1944). Di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut belajar bersungguh-sungguh untuk menjadi seorang profesional, tidak hanya mampu melakukan sesuatu sesuai keahliannya, tetapi juga mampu menjelaskannya secara filosofis dan teoretis kepada khalayak yang membutuhkan profesionalismenya.
Perguruan Tinggi juga merupakan tempat mahasiswa melakukan riset ilmiah dan menyiapkan diri menjadi peneliti dan Ilmuan masa depan. Perguruan Tinggi adalah tempat mengajarkan hal-hal universal, bersifat umum, dan berlaku bagi semua orang di seluruh dunia (John Henry Newman, 1915). Dengan demikian, output sebuah Perguruan Tinggi harus berwawasan universal, meskipun tetap harus memahami nilai-nilai kearifan lokal. Mahasiswa yang hanya asyik dengan budaya “bangsa kerumunan” di dalam maupun di luar kampus akan teralienasi ketika orang-orang sekitarnya becara mengenai perkembangan globalisme, semisal teknologi berbasis ICT atau isu mengenai kecenderungan perilaku masyarakat dunia.
Selain mencetak profesional atau ilmuwan, Perguruan Tinggi juga melahirkan manusia terpelajar (Ieducated people). Manusia terpelajar adalah manusia yang memiliki kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Saleh secara ritual akan membentuk manusia yang sadar akan eksistensinya sebagai makhkuk Allah sadar akan keterbatasannya sebagai manusia, sedangkan saleh secara sosial menciptakan manusia yang sadar lingkungan, sadar sebagai makhluk sosial dan sadar sebagai pewaris kelangsungan hidup di muka bumi ini [QS. Al-Anbiya (21): 105].

III. Konsep “CSR” dan Perguruan Tinggi
Terdapat ragam definisi tentang Coorporate Social Responsibility (CSR). Mulai dari definisi yang dirumuskan oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), International Finance Corporation (IFC), Institute of Chartered Accountants (ICA), hingga European Commission (EC). Saya hanya ingin mengutip definisi yang dikeluarkan oleh Canadian Government:
Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang. (Wikipedia, 2008)
Dalam konteks global, istilah Coorporate Social Responsibility (CSR) mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni pertumbuhan ekonomi (economic growth), pelestarian lingkungan (environmental protection), dan kesetaraan sosial (social equity), yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). (WordPress.com weblog. 4 Mei 2009)
Di Tanah Air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan
Sebetulnya, CSR adalah bentuk pertanggung jawaban sosial perusahaan, akan tetapi dari sisi manajemen Perguruan Tinggi dewasa ini juga sama dengan Perusahaan Jasa. Karena itu, Perguruan Tinggi juga harus mempunyai tanggung jawab sosial. Bukankah juga wawasan Tri Darma Perguruan Tinggi, khususnya pada Tri Darma ketiga yakni Pengabdian Masyarakat mengamanatkan adanya tanggung jawab sosial yang melekat pada setiap lembaga Pendidikan Tinggi.
Munculnya system manajemen yang relative baru dalam dunia pendidikan tinggi, seperti Badan Layanan Umum (BLU) dan terakhir yang masih dalam perdebatan sengit, Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan system yang cenderung mengadopsi manajemen perusahaan, di mana unsur profit menjadi bagian tak terpisahkan dari idealisme akademik. Perguruan Tinggi dituntut sebagai lembaga yang harus memenuhi standar Internasional, atau yang lebih dikenal dengan World Class University (Universitas Kelas Dunia). Untuk memenuhi tuntutan tersebut, tentu diperlukan biaya besar dan mandiri dalam arti tidak lagi hanya mengharapkan dana pemerintah, tetapi sumber dan pengelolaan keuangannya diatur secara independen oleh universitas bersangkutan.
Peran CSR Perguruan Tinggi mestinya bisa bersinergi dengan CSR perusahaan mengingat Perguruan Tinggi diaharapkan sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Kerjasama ini dapat berupa penelitian, seminar, dan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah Perguruan Tinggi sudah melakukan penelitian tentang implementasi program CSR di kalangan pendidikan yang hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan oleh kalangan pendidikan. Contohnya hasil riset pada siswa salah satu SMA di Makassar, mereka memerlukan bantuan biaya sekolah untuk transportasi dan uang sekolah. tetapi yang diperoleh dari program CSR perusahaan pemberi bantuan tersebut berupa seperangkat komputer dan internet berikut pelatihan bagi guru. Jelas program CSR tidak mengenai sasaran. Apa yang diperlukan oleh siswa dengan apa yang diberikan perusahaan melalui program CSR sebelumnya tidak tepat sasaran. Permasalahan ini tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan pemberi bantuan tetapi setelah dilakukan riset, ditemukan terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan siswa dengan apa yang diberikan perusahaan. Keadaan ini telah disampaikan kepada pihak pemberi bantuan melalui seminar, dan pihak perusahaan menyadari hal ini. Karena keterbatasan SDM dan waktu, pihak perusahaan berusaha agar lebih efektif lagi untuk ke depannya.
Contoh lain, Mahasiswa ITB telah melakukan riset pada masyarakat sekitar kampus mereka, tepatnya di daerah Cisitu. Hasil riset menghasilkan 40% anak yang putus sekolah, 50% Ibu rumah tangga buta aksara, 75% pemuda yang tidak memiliki pekerjaan. Dari hasil riset ini mahasiswa mencoba menindak lanjuti dengan cara menyusun program pemberantasan buta aksara, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan informal. Program ini memerlukan tempat perlatihan, SDM, dan dana. Untuk itu, mahasiswa mengajak perusahaan telkom, BNI, dan PLN bekerjasama untuk melaksanakan program tersebut melalui program CSR yang ada pada masing-masing perusahaan. (WorldWeb.com, 5 Mei 2009).
Masih banyak kegiatan atau usaha yang mengarah pada menjalin hubungan baik antara institusi Perguruan Tinggi dengan masyarakat sekitar kampus. Public Relations (PR) atau bidang kerjasama yang ada di Perguruan Tinggi melalui program-programnya harus berperan aktif dalam mengimplementasikan tanggungjawab sosial institusi. Seperti program-program pembinaan dan pendampingan PKL di sekitar kampus, rumah kos-kos-an, Implementasi Pendidikan Inklusi, pemberian beasiswa kepada anak-anak yang tidak mampu pada masyarakat disekitar kampus, dan program-program community development lainnya.
Tentunya masih banyak program-program CSR lainnya yang bisa dikemas secara kreatif dan inovatif oleh para praktisi PR di Perguruan Tinggi yang sesuai dengan kemampuan dan situasi pada Perguruan Tinggi tersebut agar program-program humas itu lebih bermakna bagi masyarakat, dan pekerjaan PR tidak hanya menjual informasi dan promosi melalui media massa cetak atau elektronik saja yang mengeluarkan biaya cukup besar tapi tidak berdampak kepada kebutuhan masyarakat.
IV. Perguruan Tinggi Islam sebagai Agen Perubahan Sosial
Cita-cita Perguruan Tinggi Islam antara lain terciptanya kondisi keberagamaan yang dewasa dan semakin kuat sehingga mampu mengatasi pengeruh negatif modernisme, mampu memainkan peran dalam pengembangan akhlak mulia dan kepribadian bangsa, mampu menjalin hubungan harmonis antar umat beragama dan umat beragama dengan pemerintah untuk mendukung pembanguna nasional, dan mampu memperlakukan alam lingkungan secara arif dan bijaksana.
Jika menelisik cita-cita di atas, sebetulnya bisa disederhanakan bahwa Perguruan Tinggi Islam merupakan agen “penangkaran” manusia yang kelak akan memiliki kesalehan ritual dan kesalehan sosial, Karena kesalehan yang ideal menurut al-Qur’an adalah kesalehan yang memadukan secara sinergis antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Perpaduan tersebut, boleh jadi, karena dalam setiap kesalehan ritual terdapat unsur kesalehan sosial, demikian pula sebaliknya. Persoaalannya adalah kesalehan ritual tidak dapat diukur ketika ia tetap dalam bingkainya. Kesalehan ritual akan lebih terukur jika ia telah membumi dalam ranah kesalehan sosial. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kesalehan ritual tanpa kesalehan sosial adalah kesalehan yang tidak berarti bagi kehidupan sosial. Itulah kiranya sehingga banyak kecaman ayat al-Qur’an terhadap orang yang saleh secara ritual tetapi mengabaikan kesalehan sosial. Antara lain, misalnya QS. Al-Ma’un (107): 1-7.
Kaitannya dengan peran sosial Perguruan Tinggi Islam bahwa sumber otoritatif Islam, al-Qur’an, memuat banyak teks yang mendukung ibadah sosial dibandingkan dengan ibadah individualistik. Maka mestinya Perguruan Tinggi Islam dapat mengambil peran yang lebih besar lagi sebagai agen perubahan sosial menuju cita-cita luhur Ilahiyah, baldatun tayyibatun wa rabbun gafur.
V. Kesimpulan
Keterpurukan citra Perguruan Tinggi, terutama setelah jatuhnya Orde Baru, disebabkan oleh fenomena elitisasi kampus. Lembaga Pendidikan Tinggi semakin jauh dari kebutuhan masyarakat. Output Perguruan Tinggi tidak banyak berkonstribusi bagi kelangsungan kehidupan sosial. Juga Perguruan Tinggi terkadang menjalankan visinya sendiri tanpa menyadari bahwa visinya jauh dari kebutuhan ril masyarakat.
Untuk itu, Perguruan Tinggi mestinya kembali menjalankan kewajiban sosialnya sesuai dengan cita-cita luhurnya. Sudah saatnya Perguruan Tinggi mengadopsi peran sosial yang diwajibkan kepada perusahaan profit semisal CSR. Peran tersebut bisa dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan atau lembaga pemerintah lain untuk bersama-sama meningkatkan martabat masyarakat sekitarnya. Gagasan ini diperlukan bukan saja karena Perguruan Tinggi mampu melakukan need assessment terhadap kebutuhan masyarakat, tetapi juga Perguruan Tinggi memiliki kemempuan akademik dan skill untuk mengiplementasikan cita-cita luhur bangsa.
Khusus bagi Perguruan Tinggi, mestinya lebih optimal dalam memainkan peran dalam mewujudkan perannya dalam melakukan transformasi sosial, karena di samping memiliki legitimasi teks suci, juga karena memiliki keterampilan dan wawasan akademik yang diperlukan dalam kerja-kerja sosial yang bernilai ibadah di sisi Allah swt.
wallahu a’lam bi al-sawab



Makassar, 5 Mei 2009
* Makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan Nasional “Peran Strategis Lembaga Pendidikan dalam Transformasi Sosial” yang dilaksanakan oleh LP3M STAI DDI Polman, Sulbar, tanggal 09 Mei 2009 bertempat di Gedung PKK Polman, Sulawesi Barat.
** Dosen Tetap dan Peneliti pada Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

Rabu, 15 April 2009


bloque

Selasa, 14 April 2009

SETIAP AKTIFITAS DALAM ISLAM MENGANDUNG DIMENSI RITUAL DAN SOSIAL

Setiap aktifitas ibadah dalam islam mengandung dimensi ritual dan sosial
. Dimensi ritual adalah hubungan manusia dengan Tuhannya, sedang dimensi sosial yaitu hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan. Keseimbangan semacam itulah yang kemudian diteladankan oleh Rasulullah saw.
Dimensi ritual dan sosial adalah ibarat satu keping mata uang dengan dua sisinya, satu sama lain tak mungkin dipisah jika mata uang itu tak ingin kehilangan makna. Begitu pula dengan ibadah shalat, ia akan kehilangan ruhnya jika dilakukan sekedar ritual semata, tanpa sisi social.
Karena itu, khusyuk dalam shalat tidak saja wajib hukumnya, namun juga satu-satunya jalan memaknai hakikatnya, kecuali ia dapat menghayati lafad yang dibacanya. “Kamu tidak mendapat pahala dari shalatmu, kecuali kamu dapat menghayati apa yang dibaca didalamnya” begitu sabda Rasulullah dalam riwayat Al-Baihaqi (w.458H)
Agar bisa khusyuk dalam shalat, pertama-tama kita memang harus tahu arti dari bacaan yang kita lafadzkan. Berikutnya, bacaan-bacaan dalam shalat itu kita hayati sepenuhnya agar makna semua bacaan-bacaan itu meresap kedalam hati sanubari kita. Memang, untuk bisa khusyyuk dalam shalat bukanlah perkara yang mudah. Untuk itu, Rasulullah saw berpesan, “apabila kamu berdiri melaksanakan shalat, maka hendaklah shalat seperti shalatnya orang yang hendak meninggal dunia.” (HR. Ahmad)
Sebagaimana juga ditulis Al-Ghazali dalam bukunya, Ihya Ulumuddin, khusyuk adalah ruhnya shalat. Sedangkan khusyuk itu adalah buah dari iman dan hasil keyakinan akan keagungan Allah. Siapa pun yang dikarunia hal itu, maka ia akan khusyuyk di dalam shalat dan luar shalat. Karena, yang menimbulkan khusyuk adalah kesadaran bahwa Allah selalu mengamati hamba-Nya di manapun dia berada.
Bila saja rasa khusyuk itu telah bersemayam di hati setiap orang yang shalat, tentu tak aka nada lagi orang muslim yang gemar melakukan korupsi, manipulasi, nepotisme, perjudian, penipuan, pelacuran, dan kejahatan lainnya. Tapi, apakah kenyatannya? Shalat setiap hari, tapi tindakan-tindakan culas pun masih sering dilakoni.
Kita lihat saja, belakangan ini, macam-macam da’I dan pengkhotbah mengisi pelbagai acara di televise dengan kepala berlilit sorban tebal dan mahal. Mulai dari pengajian fikhi, manajemen hati, hingga mengajak orang-orang menangis sesenggukan. Acara televise pun semakin islami, mulai dari pentas dai cilik, dan dewasa hingga sinetron – sinetron hantu dan kuburan yang “menjual” Ayat-ayat Al-Qur’an.
Tetapi semua itu, banyak kalangan kritis yang menghawatirkan kegandrungan itu. Seperti Asep Muhyiddin dan Asep Salahuddin, dalam bukunya “Shalat bukan sekedar ritual” tak habis pikir mengapa pembangunan tempat-tempat ibadah di negeri ini bersamaan dengan berdirinya tempat-tempat maksiat? Setiap saat kitab suci ditadaruskan selaras dengan derasnya bacaan-bacaan primitive, kuota haji terus meningkat berbanding lurus dengan naiknya angka kemiskinan. Belum lagi dosa-dosa sosial lainnya yang dilakukan oleh masyarakat kita yang mengaku sebagai orang-orang religious. Bila ini terus berlanjut, tidak mustahil kita termasuk dalam golongan yang mendapat cap sebagai “pendusta agama” atau tergolong kedalam ayat,”celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai terhadap shalatnya” (Al-Ma’Ûn: 4-5). Astagfirullah!!
Shalat bukan sekedar ritual, ummat islam jangan terlalu bangga terhadap rutinitas ibadah-ibadah ritualnya, tetapi tidak memperhatikan amal-amal social. Dengan kata lain, kita jangan sampai terjebak pada kamuflase dan terlupakan dari peran yang sesungguhnya, yakni membela kaum sesama. ***


Kamis, 19 Maret 2009

Minggu, 08 Februari 2009

bencana kapal teratai di majene

bloque

BENCANA KAPAL DI PERAIRAN MAJENE

Pada tgl. 10 Januari 2009 pukul 07:00 Wita kapal Teratai Prima berangkat meninggalkan pelabuhan Parepare, Sulsel, menuju Samarinda, Kaltim dengan sarat penumpang dan muatan barang. Kapal Teratai Prima adalah kapal swasta yang melayari jalur ini secara tetap. Tidak jelas apakah kapal ini adalah kapal kargo atau kapal penumpang, tapi yang pasti di lambung kapal ada barang-barang kargo, seperti beras, pisang, dan berjubel penumpang. Pada tgl. 11 Januari 2009 pukul 02:00 lewat dinihari kapal karam dihantam ombak yang tingginya mencapai 4 m di perairan Majene, Sulbar, yang lokasinya berdekatan dengan lokasi jatuhnya pesawat Adam Air beberapa waktu lalu.
Saat terjadi kecelakaan ini, bukan hanya membuat keluarga korban bersedih karena ada yang meninggal, tetapi ini ditambahi dengan ada sejumlah penumpang yang tidak terdaftar di manifes kapal yang ada di Administrasi Pelabuhan Parepare. Menurut manifes, jumlah penumpang adalah 250 orang (jumlah kapasitas resmi adalah 300 orang), ternyata dari informasi keluarga korban ada lagi sanak saudara mereka yang tidak tertulis dalam manifes ini. Menurut Posko Keluarga Toraja ada 179 orang lainnya yang tidak terdaftar. Tidak jelas mengapa keluarga mereka tidak terdaftar, padahal sebagian dari mereka membeli dari agen perjalanan yang resmi. Ada pula yang mengatakan bahwa penumpang itu tidak membeli tiket, tetapi membayar di kapal. Pada pihak lain dari 250 nama yang terdaftar ada nama yang ditulis berulang-ulang. Entahlah di mana letak kesalahan ini. Jika benar klaim keluarga korban, itu berarti ada 429 penumpang di kapal; ini berarti jauh melebihi kapasitas kapal.
Setelah karamnya kapal, Tim SAR Nasional bekerja sama dengan berbagai pihak terkait untuk mencari korban. Hingga hari kesepuluh, saat pencarian dihentikan hanya ditemukan 44 orang, yang terdiri dari 9 orang ditemukan meninggal (5 orang dapat diidentifikasi dan 4 orang tidak bisa dikenali lagi) dan 35 orang selamat, termasuk ABK (Anak Buah Kapal); selebihnya tidak diketahui nasibnya. Operasi pencarian korban secara resmi dihentikan oleh Tim SAR pada tgl 20 Januari 2009 pukul 21.30 Wita, dengan catatan jika ada informasi lebih lanjut dapat dilanjutkan kembali.
Pada hari kedua sejak kecelakaan ini Keluarga Toraja (GT) di Parepare membentuk Posko Peduli Korban Kapal Teratai Prima Keluarga Toraja. Yang terlibat dalam Posko ini adalah Tim Penanggulangan Bencana GT (Gereja Toraja) Klasis Parepare, Persekutuan Pemuda GT, dan Kerukunan Keluarga Masyarakat Toraja di Parepare. Posko GT adalah posko pertama yang dibentuk atas inisiatif masyarakat. Posko ini juga mendapat dukungan dari gereja-gereja yang ada di Parepare, seperti Gereja Katholik, GKI Sulsel, GTM dan Kibait. Kegiatan Posko ini adalah memfasilitasi keluarga korban untuk mendapatkan kepastian keberadaan keluarga mereka yang menjadi penumpang kapal. Aktivitas sehari-hari yang mereka lakukan adalah menyediakan tempat berteduh bagi keluarga korban yang datang ke Parepare dengan membangun tenda, menyediakan makanan, memulangkan jenazah yang ditemukan hingga menyediakan transportasi bagi keluarga korban yang akan kembali ke Tana Toraja. GT juga melaksanakan kebaktian keprihatinan di depan kantor Sinode GT di Rantepao. Memang korban terbanyak adalah berasal dari Tana Toraja. Jumlah penumpang yang berasal dari Toraja dan Supiran ada lebih dari 100 orang.
Setelah berakhirnya pencarian korban maka Posko ini berubah menjadi Tim Pendampingan & Advokasi Keluarga Korban Kapal Teratai Prima. Tim ini akan memberikan pendampingan berupa konseling/trauma healing bagi korban yang selamat dan keluarga korban dan advokasi agar ahli waris korban bisa mendapatkan hak-hak mereka berupa penggantian asuransi dan penggantian barang-barang bawaan yang hilang. Khusus untuk klaim asuransi dan penggantian barang Tim ini kelihatannya akan menghadapi tantangan yang berat karena administrasi dan kedisiplinan yang amuradul. Pertama, hanya 250 dari lebih 300 penumpang yang dicatat dalam manifes yang diktandatangai oleh otoritas Adpel (Adinistrasi Pelabuhan). Ada penumpang yang memiliki tiket resmi di agen perjalanan yang tidak dicatat, ada pula yang mengatakan bahwa biasanya bisa naik kapal tanpa tiket, nanti di kapal baru membayar kepada ABK. Kedua, dari 250 nama yang tercatat ada beberapa nama yang ditulis lebih dari satu kali. Ada kemungkinan memang ada lebih dari 1 orang yang bernama sama menjadi penumpang, tetapi bisa pula tiket itu dibeli oleh calo dan dijual kepada orang lain. Satu orang calo membeli beberapa tiket dengan namanya kemudian dijual. Ketiga, nama penumpang tidak ditulis dengan lengkap, hanya ditulis nama depannya saja, sehinga menyulikan untuk memastikan identitas korban. Keempat, ada nama yang ditulis salah; misalnya Erina ditulis Ina. Kelima, anak-anak dan bayi tidak ditulis dalam manifes karena tidak membayar. Keenam, penumpang tidak tahu apakah namanya terdaftar atau tidak karena manifes hanya ada di Adpel dan ABK. Semua ini tantangan yang berat dihadapi oleh Tim Pendampingan & Advokasi untuk membantu ahli waris korban mendapatkan hak-hak mereka.
Dari kecelakaan ini pembelajaran yang kita dapatkan adalah bahwa perlu kesadaran bahwa kecelakaan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Untuk mengantisipasi itu apabila naik alat transportasi umum mintalah tiket resmi agar memudahkan jika terjadi kecelakaan. Selain itu di Parepare sebetulnya pernah terjadi kecelakaan yang sama, tetapi pada saat terjadi kecelakaan kali ini penanganannya tetap belum baik. Kita belum siap untuk menangguangi bencana. Ini terlihat, menurut kesaksian seorang angota Posko Toraja bahwa Tim SAR Nasional baru mulai melakukan pencarian pada hari ketiga kecelakaan. Pada hari pertama dan kedua pencarian di pesisir pantai pada hari pertama dan kedua dilakukan oleh penduduk dan nelayan. Pada saat keluarga korban memenuhi Pelabuhan Cappa Ujung Parepare mereka kesulitan mendapatan informasi. Tidak ada juga yang menyedakan tempat berteduh dan makanan bagi mereka yang datang dari luar Parepare. Pada hari keempat barulah dibuka dapur umum dan dibangunkan tenda. Ternyata kita belum belajar bagaimana menangani bencana. Memang bencana tidak akan terjadi setiap hari, dan tidak kita inginkan, tetapi seharusnya kita siap jika itu terjadi. Sebagai anggota masyarakat kita juga perlu menyiapkan diri dengan segala antisipasi seandainya bencana menghampiri kita. Bagi pengelola angukatan umum perlu disediakan alat keselamatan yang cukup. Kemungkinan di kapal ini tdak cukup tersedia alat keselamatan dari kecelakaan. Misalnya di antara korban selamat yang ditemukan tidak ada satupun yang memakai pelampung (life vest), kecuali sekoci. Anehnya kapal yang tidak meneyediakan alat keselamatan jugamasih diijinkan beroperasi. (Iskandar Saher)

banjir bandang di polman

baBANJIR BANDANG POLEWALI MANDAR
Kejadian
Banjir bandang, tgl. 9 – 10 Januari 2009, kering tgl. 12 Januari 2009.
Lokasi :
Kecamatan Limboro : Desa Saragian, Malimbung, Palece Lipu, Tandasura
Kecamatan Alu : Desa Mombi, Paropo, Petoosang, Paopao, Alu
Kec Tinambung : Desa Sepa Batu
Kec Tutar : Desa Ambo Padang, Mosso
Kec. Mapilli : Desa Lampa
Kec Wonomulyo : Desa Ugi Baru, Mampi’e
Kec Balanipa : Desa Bala
Kec Luyo : Desa Tenggelang

Penyebab banjir curah hujan tinggi 2 hari 2 malam, air kiriman dari daerah Mambi, hutan yang gundul di wilayah di Kec Alu dan Tutar (di perbatasan Mamasa), air pasang (khusus untuk Mampi’e dan Bala).

KERUSAKAN
Rumah penduduk, bangunan umum (sekolah, masjid, kantor, pasar, sarana olah raga, sarana air bersih)
Mata pencarian : perahu nelayan, kebun kakao, sawah dan kelapa, ternak (kambing)
Harta milik : semua perabot rumah tangga, alat masak, barang dagangan
Wilayah yang aling parah Kec. Alu dan Limboro (9 desa)
Meninggal : 9 orng; hilang 1 orang.

Data : (Lihat dara dari Tim Relawan)
Kel. Petoosang:
Ling I : 4


Mata Pencarian : ..... pohon kakao, .... kelapa,

Kondisi : mata pencarian utama masyarakat aalah dari perkebunan kelapa , kakao dan kemiri.

Siapa yang menderita: seluruh masyarakat yang kehilangan rumah, harta dan kebun. Kelompok yang paling menderita adalah laki-laki karena kehilangan keluarga, rumah, harta, karena mereka penanggung jawab keluarga.

Anak-anak: kalau ada kilat mereka histeris dan lari mencari perlindungan. Ibu-ibu gelisah setiap kali melihat akan hujan dan siap-siap mencari perlindungan.

Apa yang sudah dilakukan:

Waktu : 15 Januari – 5 Feb
Mendata kerusakan rumah dan fasilitas umum, serta orang yang meninggal
Membersihkan fasum (sekolah, masjid, jalan, drainase, kantor lurah)
Memberikan bantuan beras 3 ton; mie instan 160 dos (a 40 bks); pakaian pantas pakai 4 karung; panci 110 buah; piring 30 buah; sabun cuci 200 bks; garam beryodium 200 bks; gelas 2 lusin;
Gerobak pembersih 2 buah; skop 8 buah; alat pel 2 buah.

Yang menerima 300 kk. Untuk seluruh keluarga

YANG AKAN DILAKUKAN
Lokasi : Petoosang Ling 1, 2, 3

Darurat, Rehabilitasi, Livelihood:
1. Bayi dan anak-anak: susu formula, tempat tidur bayi, paket anak sekolah (pakaian seragam, buku, sepatu, tas, alat tulis)
2. Trama healing untuk anak-anak
3. Bibit kakao dan pelatihan petani kakao
4. Bibit holtikultura (kangkung cabut, kacang panjang, jagung, cabe, pepaya)

Siapa yang akan menerima: (351 kk)

1. Bayi 40 bayi; anak sekolah (TK, SD, SMP) 100 anak
2. Anak-anak 130 anak
3. 200 kk @ 200 bibit
4. 150 kk

Seleksi:
1. Semua bayi yang ada di Lingkungan 1, 2 & 3
2. Semua siswa SD & SMP di Petoosang
3. Mereka yang dulunya memiliki kebun kakao tetapi hilang dan rusak berat karena banjir
4. Ibu-ibu yang menunjukkan minat untuk memanfaatkan pekarangan rumah dan kebun untuk ditanami sayur-sayuran

Mengapa mereka dipilih?
Karena mereka berada di lokasi yang paling parah.

Peran masyarakat?
Masyarakat yang akan menanam sendiri

Kegiatan:
1. Mendata penerima manfaat (bayi, anak sekolah, petani kakao, ibu-ibu)
2. Membagikan susu formula dan tempat tidu bayi kepada bayi dan paket sekolah kepada siswa
3. Menyelenggarakan pelatihan Trauma Healing untuk relawan yang akan menjadi fasilitator
4. Melaksanakan kegiatan Trauma Healing di lapangan
5. Menyelenggarakan pelatihan pembibitan dan tehnik budidaya kakao kepada calon penerima bantuan
6. Pembagian bibit dan pelaksanaan okulasi kakao
7. Pembagian bibit holtikultura dan pelatihan tentang tehnik penanaman

Dampak yang diharapkan:
1. Bayi dapat tumbuh normal, anak-anak sekolah dapat bersekolah kembali
2. Mengurangi tingkat trauma pada anak-anak
3. Dua tahun setelah pelaksanaan para petani kakao sudah bisa mendapatkan penghasilan rata-rata Rp. 330.000/bulan
4. Masyarakat apat mengkonsumsi sayur-sayuran tanpa harus membeli.


Lembaga Pelaksana:
LSP2M

Contact person Tamsil Kanang 085656217527



tamsilkanang@gmail.com

Pengikut