Minggu, 30 November 2008

Menatap Era Keemasan Peradaban Islam:
Abbasiyyah I (132-232 H) (1)
Oleh: Abdul Hayyie al Kattani
Mukaddimah
Huzaifah al Yamani r.a. berkata: " Orang-orang bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang syarr --keburukan, karena aku takut terkena keburukan itu. Aku bertanya: "Apa perintah baginda jika aku menemukan keburukan itu?". Beliau menjawab: "....tulzimu jama'at al-muslimin wa imamihim.... --Ikutilah jama`ah kaum muslimin dan pemimpin mereka....".(2) Sabda tersebut merupakan sebuah perintah tentang keharusan seluruh umat Islam untuk terus berada dalam jama`ah kaum muslimin.
Di samping banyak hadits-hadits sejenis, yang memerintahkan umat Islam untuk terus berpegang pada jama`ah, menjaganya, dan ta`at terhadap pemimpin (3), juga terdapat beberapa ayat al Quran yang berisikan perintah yang sama.(4) Antara lain firman Allah Swt.: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`nat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk".(5)
Ayat-ayat dan hadits-hadits di atas, dengan tegas menjelaskan bahwa kemajuan dan kelangsungan hidup umat Islam, akan terus terjamin dan terpelihara, jika jama`ah dan kepemimpinan umat Islam masih tetap eksis.
Saat ini, ketika umat Islam berada dalam krisis yang terus berkelanjutan (6), antara negara Islam tanpa sungkan saling mengirim roket dan rentetan senjata (7), darah umat Islam demikian mudah dicecerkan (8), dan kehormatan umat Islam demikian murahnya, sehingga dengan mudah diinjak-injak dan umat Islam dengan tanpa daya hanya mampu mengutuk dan mengecam (9), kita segera bertanya-tanya: Apa yang hilang dan berkurang dari umat yang besar ini?.
Husain bin Muhsin bin Ali Jabir, dalam thesis Masternya, yang telah dipublikasikan dengan judul Ath-Thariq ila Jama`ah al Muslimin, dengan yakin mengatakan: "Karena, saat ini, jama`ah dan kepemimpinan Umat Islam telah hilang!"(10).
Yang ada saat ini, menurutnya lagi, adalah jama`ah sebagian dari umat Islam dan negara sebagian dari umat Islam, namun bukan jama`ah dan negara Islam secara universal.
Lenyapnya jama`ah dan kepemimpinan umat Islam telah dinubuwahkan oleh Rasulullah Saw. dalam hadits yang diriwayatkan oleh Huzaifah al Yamani (sebagiannya telah disebut di atas), ia bertanya kepada Rasulullah Saw.: Jika umat Islam tidak memiliki jama`ah dan kepemimpinan (apa yang aku harus perbuat)?. Rasulullah Saw. bersabda: "fa'tazil tilka al-firaq kullaha wa lau an ta'adldla bi ashli al-syajarah --Tinggalkanlah semua firqah-firqah itu, meskipun engkau harus menggigit akar pohon".(11)
Maka untuk mengembalikan kejayaan umat Islam, sarannya, seluruh umat Islam berkewajiban untuk menegakkan kembali jama`ah tersebut, sehingga terbentuk kekhilafahan Islam yang didukung oleh seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia (12). Kekhalifahan itulah nantinya yang akan menjadi pusat loyalitas umat Islam di seluruh dunia. Dialah yang akan memelihara seluruh urusan umat Islam, menjaga persatuannya, dan mendakwahkan ajaran Islam ke seluruh dunia. Dia pula yang akan menghadapi orang-orang yang murtad dari Islam serta orang-orang yang melecehkan ajaran Islam dan menghina kehormatan umat Islam.
Namun, sebelumnya, kita harus menengok kembali ke belakang, melalui catatan sejarah, untuk melihat lebih jernih kondisi umat Islam pada era kejayaannya. Dari puing-puing sejarah tersebut kita gali hikmah-hikmah terpendam. Yang mengajarkan kepada kita, mengapa mereka maju dan mengapa kemajuan dan kejayaan itu kemudian lenyap?. Padahal peradaban Islam-lah yang menghantarkan kemajuan dunia modern ini. Sehingga Robert Briffault dalam bukunya Making of Humanity mengatakan: "Seluruh segi kemajuan peradaban di Eropa secara pasti dapat di telusui akarnya dari peradaban Islam. Peradaban Islamlah yang telah menghidupkan energi yang menggerakkan peradaban modern. Terutama dalam ilmu-ilmu alam, dan etos penelitian ilmiah".(13)
Kemudian, mengapa harus dengan mengkaji sejarah?.
Reedukasi dan Reinterpretasi Sejarah
Jika disebut sejarah, yang sering terlintas dalam benak kita adalah tentang catatan-catatan tahun terjadinya berbagai peristiwa, yang harus diingat, terutama pada saat ujian tiba. Bagi sebagian orang, ini amat membosankan.
Dalam bahasa Arab, untuk menunjukkan sejarah, sering digunakan terma tarikh dan qishah dan untuk biografi sering dengan mengunakan terma sirah. Al Quran lebih banyak menggunakan terma qishah untuk menunjukkan sejarah, dengan pengertian sebagai ekplanasi terhadap peristiwa sejarah yang dihadapi oleh para Rasul.(14)
Dalam bahasa Indonesia, sejarah sebagai istilah diangkat dari terma bahasa Arab syajaratun yang berarti pohon. Kata ini memberikan gambaran pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis; karena memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan "pohon", yang tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon yang rindang dan berkesinambungan.(15)
Dalam ayat-ayat Al Quran: 2:35; 7:10,22; 14: 24,26; 17:60; 20: 120; 23: 20; 24: 35; 28: 30; 31:27; 37: 62,64,146; 44: 43 dapat ditarik kesimpulan, pengertian syajarah berkaitan erat dengan "perubahan" (change). Perubahan yang bermakna "gerak" (movement) menuju bumi untuk menerima dan menjalankan fungsinya sebagai khalifah (QS. 2:35; 7:19, 22). Juga merupakan gambaran keberhasilan yang dicapai oleh Musa a.s., yang digambarkan dengan pohon yang tinggi dan tumbuh di tempat yang tinggi (QS. 28: 30). Sebaliknya, ia juga memberikan gambaran kegagalan Nabi Yunus a.s. yang dilukiskan sebagai "pohon labu" yang rendah dan lemah (QS. 37: 146). Bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah, hasilnya menumbuhkan "pohon pahit" (syajaratuz zaqqum) (QS. 37:62, 64 dan 44: 43). Petunjuk Allah pun diibaratkan pula sebagai "pelita kaca yang bercahaya seperti mutiara" dan dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin mubarakah (QS. 24: 35).(16)
Setiap pelaku sejarah hakikatnya tidak mengetahui hasil perubahan yang direncanakannya.(17) Maka setiap orang tidak dapat memastikan "masa depannya". Masa depan adalah gudang ketidakpastian. Hanya fakta-fakta sejarah yang dapat diketahui; dan kita hanya dapat mempunyai pengetahuan positif tentang masa lampau. Sedangkan masa depan adalah ladang ketidakpastian, di juga merupakan bagian atas mana kita mempunyai sedikit kekuasaan. Kemampuan untuk membentuk masa depan sendiri dimiliki oleh semua individu dan masyarakat. Ketidakmampuan kita untuk mengetahui fakta-fakta masa depan atau masa-depan-masa-depan diimbangi oleh kemampuan kita memberi masukan bagi pembentukan fakta-fakta ini.(18)
Oleh karena itu, Al Quran memerintahkan manusia untuk menyiapkan masa depannya dengan mempelajari sejarah yang telah dilaluinya.(19) Dalam penuturan kembali kisah umat-umat terdahulu, Al Quran berkali-kali mengingatkan bahwa dalam kisah-kisah tersebut terkandung ibrah--pelajaran yang dapa dipetik oleh umat Islam.(20)
Pelajaran atau mau`izhah yang terdapat dalam Al Quran adalah "hukum sejarah" yang terpolakan dalam 25 peristiwa kerasulan. Dari peristiwa kerasulaan tersebut disimpulkan lagi menjadi 5 persitiwa sejarah kerasulan. Kelima peristiwa sejarah ini dialami oleh Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s, dan terakhir adalah Nabi Muhammad Saw. Umat Islam dituntut untuk "menangkap pesan-pesan sejarah yang terumuskan dalam peristiwa Ulul Azmi tersebut", sehingga umat Islam tidak saja mengetahui "guna sejarah" tetapi sekaligus "akan mampu memanfaatkannya" sesuai dengan fungsinya masing-masing.(21)
Ketika ada seseorang yang berkata history is bunk--sejarah adalah omong kosong, Soekarno segera berkomentar: "Penulis ini tidak benar. Sejarah adalah berguna sekali. Dari mempelajari sejarah orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia. Salah satu hukum itu ialah: Bahwa tidak ada bangsa bisa menjadi besar zonder kerja. Terbukti dalam sejarah segala zaman, bahwa kebesaran bangsa-bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh dari gratis dari langit. Kebesaran-bangsa dan kemakmuran selalu "kristalisasi" keringat. Ini adalah hukum, yang kita temukan dari mempelajari sejarah. Bangsa Indonesia, tariklah moral dari hukum ini!".(22)
Esensi sejarah adalah perubahan. Dan tugas hidup manusia di bumi adalah "menciptakan perubahan sejarah" (khalifah). Perubahan sejarah yang akan terjadi merupakan pengulangan dari peristiwa yang telah terumuskan dalam Al Quran, yang terpolakan dalam 25 peristiwa sejarah kerasulan. Peristiwa yang pernah terjadi bukanlah merupakan masa lalu yang mati, melainkan sebagai peristiwa yang tetap hidup di masa kini.(23)
Dari uraian di atas, kita dapat menangkap dengan jelas urgensi sejarah bagi pembangunan kembali peradaban umat Islam. Namun, problem yang dihadapi kemudian adalah, ketika umat Islam menatap kembali sejarahnya yang telah lalu, ada beberapa kendala yang menghalangi pandangan tersebut. Sehingga tidak dihasilkan suatu pandangan yang benar-benar jernih. Oleh karena itu, Muhammad Quthb menyarankan untuk menulis ulang sejarah umat Islam.
Ada beberapa hal, menurut Muhammad Quthb, yang mengharuskan umat Islam untuk menyusun kembali sejarahnya. Antara lain adalah:
a. Kitab-kitab sejarah umat Islam, yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu, merupakan sebuah kompilasi sejarah yang demikian besar. Namun, ia hanya cocok untuk para periset, tidak untuk orang awam, yang ingin mendapatkan kesimpulan yang cepat. Sehingga kitab-kitab tersebut tidak menarik untuk dibaca oleh khalayak ramai. Hal itu terjadi karena para ulama tersebut amat memegang amanah ilmiah. Sehingga mereka menulis semua yang mereka ketahui dan mereka dengar dalam kitab sejarah mereka. Meskipun isinya adalah pengulangan atau saling bertentangan satu sama lain, atau malah sesuatu yang jauh kemungkinan terjadi. Bagi mereka, amanah ilmiah adalah dengan menulis semua yang mereka tahu dan mereka dengar.(24)
Dalam mukaddimah kitab tarikhnya, Thabari berkata: "Jika ada suatu catatan sejarah yang tertulis dalam kitab kami ini, yang dipungkiri oleh pembaca atau tidak sedap didengar, karena jauh sekali dari kebenaran dan tidak bermakna sama sekali, maka perlu diketahui, itu semua bukan karena kesengajaan kami, namun datang dari orang-orang yang menyampaikan berita itu kepada kami. Sedangkan kami hanya menyampaikannya sesuai dengan apa yang kami terima".(25)
b. Jika kita membaca buku-buku sejarah yang ditulis pada masa modern ini, baik oleh orientalis maupun murid atau orang-orang yang terpengaruh oleh mereka, kita dapati bentuk maupun penyajian buku tersebut menarik. Enak dibaca dan dapat memberikan pemahaman yang cepat kepada pembacanya. Namun, banyak dari buku-buku tersebut ditulis tidak dengan semangat amanah ilmiah, atau memang ditujukan untuk suatu tujuan tertentu. Sehingga banyak terjadi pemutar balikkan fakta atau penarikan kesimpulan yang gegabah.
Contohnya adalah: Will Durant, ketika mendapati suatu catatan sejarah yang mengatakan: "Zubair mempunyai seribu orang hamba sahaya yang membayarkan kharaj mereka kepadanya setiap hari, namun semua uang itu tidak satu dirhampun yang masuk ke rumahnya, karena semuanya habis ia sedekahkan". Ia merubahnya menjadi: "Zubair mempunyai rumah di berbagai kota, ia juga mempunyai seribu ekor kuda dan sepuluh ribuh hamba sahaya". Di sini, sosok Zubair yang zuhud diubah oleh penulis menjadi sebuah sosok yang glamour dan penuh kemewahan.(26) Dan banyak contoh-contoh lainnya, sehingga bagi pembaca yang tidak teliti, akan terperangkap oleh sikap membenci atau mencela umat Islam terdahulu.
c. Penulisan sejarah dewasa ini, banyak didominasi oleh penekanan pada sisi politik. Dan mengesampingkan sisi lainnya yang demikian banyak. Seperti akidah, pemikiran, peradaban, ilmiah, sosial dan seterusnya. Padahal, sejarah politik Islam, adalah sisi yang paling buruk dari sisi lainnya. Yang dituntut dari para sejarahwan Islam adalah, tidak hanya memusatkan diri pada sejarah pergulatan politik umat Islam, juga hendaknya menampilkan sisi lain yang demikian banyak. Sehingga tercipta sejarah yang seimbang.
Pengajaran sejarah Islam dengan tekanan pada sisi politik beserta segala tipu muslihatnya, seperti pembunuhan, penipuan, meracun musuh, pembasmian musuh-musuh politik dan tindakan-tindakan kotor lainnya, adalah sebuah konsep yang diterapkan oleh Dunlop, yang ditunjuk oleh Lord Cromer sebagai konsultan ahli kementerian pendidikan Mesir. Setelah memberikan pengajaran seperti itu tentang sejarah Islam, kepada anak didik, mereka melanjutkan dengan mengajarkan sejarah Eropa yang digambarkan dengan berkilauan, berperadaban, maju dan seterusnya. Sehingga tertanamkan dalam jiwa anak didik, bahwa Islam yang hakiki telah lenyap setelah masa Khulafa Rasyidin yang empat, setelah itu, yang terjadi adalah kekotoran dan kekejian yang harus dihindari, dan tidak ada sesuatupun yang pantas untuk dibanggakan atau diketengahkan kepada umat manusia. Kemudian tertanamkan pula bahwa sejarah yang pantas untuk dikagumi dan cintai dengan sungguh-sungguh adalah sejarah Eropa!(27)
d. Dalam mengkaji sejarah Islam, kita sering mengembalikan segala sesuatu kepada faktor-faktor politik, peperangan, ekonomi dan sebagainya. Sehingga, seakan-akan agama ini hanyalah sebuah budaya yang sama dengan budaya yang lain. Tidak mempunyai kaitan dengan hukum-hukum (sunnah-sunnah) Allah Swt. Ini pula yang tampak dalam tulisan Michel H.Hart ketika meletakkan Nabi Muhammad Saw. di urutan teratas dari seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Betul ia meletakkan Nabi Muhammad Saw. di urutan teratas, namun dalam penulisan dan alasan-alasan penempatannya, ia tidak mengkaitkan pribadi Nabi Muhammad Saw. dengan kedudukannya sebagai seorang utusan Allah Swt.
e. Dalam mengkaji sejarah umat Islam, kita sering melupakaan hubungan antara karakteristik umat ini, yang telah dianugerahkan Allah Swt. dengan kondisi kemanusiaan dengan segala aspeknya.
Umat Islam, bukanlah hanya sekedar sebuah fenomena sejarah yang kebetulan timbul ke permukaan. Namun, ia adalah umat tauhid yang besar, yang dipilih Allah Swt. Sebagai saksi atas seluruh manusia. Allah Swt. befirman: "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." (QS. Al Baqarah: 143).
Demikian juga, kita sering melupakan pengaruh yang dihasilkan oleh umat Islam terhadap kemanusiaan sepanjang sejarah.(28) Padahal, seperti diakui oleh banyak ilmuan Barat yang fair, Islamlah yang telah mengantarkan bangsa Barat menuju kemodernannya saat ini. Tentang Roger Bacon, bapak kebangkitan ilmu pengetahuan (renaissance) Barat, Robert Briffault berkata: "Roger Bacon belajar bahasa Arab dan ilmu Arab dan ilmu-ilmu kearaban di Universitas Oxford dari bekas dosen-dosen Arab di Andalusia. Roger Bacon dan siapapun orang yang datang setelahnya tidak mempunyai hak untuk mengaku sebagai orang yang menemukan metode eksprimentalisme. Roger bacon hanyalah seorang duta dari duta-duta ilmu pengetahuan dan metodologi umat Islam kepada orang-orang Kristen Eropa".(39)
Dari konsideran-konsideran di atas, dapat dikatakan, usaha untuk menatap sejarah Islam dengan penekanan pada sisi peradaban dan ilmu pengetahuan adalah amat terpuji. Dan usaha seperti itu harus terus digalakkan dalam skala yang lebih luas dan dengan perhatiannya yang lebih intens. Karena dari sanalah, nantinya, diharapkan umat Islam menemukan kembali --seperti dikatakan oleh Syed Ameer Ali dan sering dikutip oleh Soekarno-- api Islam yang sebenarnya.
Di bawah ini, penulis mencoba untuk mengkaji sejarah keilmuan pada fase pertama era Abbasiyyah. Sebuah era keemasan peradaban Islam.
Era Keemasan Peradaban Islam
Menurut Ibnu Khaldun, jika kerentaan telah menerpa suatu negara, maka tidak dapat dihindari terjadinya proses penuaan itu, menunggu masa keruntuhannya.(30) Pada permulaan abad kedua Hijriyyah, saat dinasti Muawiyah mulai menunjukkan kerentaannya, organisasi rahasia yang berusaha untuk menggalang kekuatan massa mendukung kembalinya kekhalifahan kepada Ahlul Bait, berdiri. Usaha intensif organisasi ini menghasilkan buahnya dengan dibai`atnya Abul Abbas As-Sifah sebagai khalifah pertama Bani Abbas, pada 123 H. Semenjak itu pula, dinasti Abbasiyah berdiri, menggantikan sejarah dinasti Bani Umayyah.
Abbasiyyah berdiri pada era keemasan peradaban Islam. Mengisi hampir seluruh masa keemasan itu, yaitu diawali pada 132 H. Dan berakhir pada 656 H, ketika khalifah Abbasiyah yang terakhir terbunuh di tangan pasukan Hulagu Khan.
Pada tujuh abad pertama inilah, umat Islam terus menjulang, mencapai dan menegakkan peradabannya. Diikuti oleh tujuh abad kemudian, masa kemunduran umat Islam, hingga saat ini. Klimaks dari keruntuhan itu adalah runtuhnya Turki Utsmani yang berpusat di Turki, serta dihapusnya sistem kekhalifahan oleh Kamal Attaturk pada 1924 M.(31)
Ziauddin Sardar, seorang cendekiawan Muslim Pakistan mengilustrasikan kronologi sejarah kaum Muslimin itu sebagai berikut (32):

Jumat, 07 November 2008

ಹಲಾಲ್ ಬಿ ಹಲಾಲ್ DAMAI

Halal Bi Halal Momentum Membangun Persaudaraan

Laysa al-muwashil bil mukafi ‘ walakin al- muwashil ‘an tashil man qatha’ak “
“ Bukanlah bersilaturahmi adalah membalas kunjungan atau pemberian , tetapi bersilatutrahmi adalah membalas kunjungan atau pemberian , tetapi yang bersilaturahmi adalah menyambung apa yang putus. ( Hadis Riwayat bukhari )
Setelah bulan suci ramadhan ini selesai maka tradisi masyarakat yang ada diwilayah Aralle dan mambi adalah melaksanakan sebuah rutinitas yang disebut dengan Halal bi-halal, tradisi ini sebenarnya tidak dikenal di beberapa Negara timur tengah, maka hal ini hanya dapat ditemukan di indonesia, karena menjadi kebiasaan setiap selesai bulan suci ramadhan,,,,

Apa sebenarnya yang disebut dengan halal bi halal…? Halal bihalal adalah kata majemuk dari pengulanagan kata halal diimpit oleh satu huruf ba kalau diartikan dalam bahasa Indonesia adalah acara maaf memaafkan yang pada hari lebaran, maka dalam halal bi halala ada unsure silaturahmi sebagai rangkaian dalam proses saling melepaskan atas segala kesalahan yang dilakukan dalam satu tahun. Dalam Al-Quran kita tidak aan menemukan kata ini oleh karena hal ini adalah khas Indonesia dan sudah menjadi tradisi di Indonesia .

Halal dalam pandangan gukum syariat islam adalah lawan dari kata haram ‘ adalah sesuatauyang terlarang” atau “ suatu aktipitas mukallaf yang melahirkan dosa dan dapat mengakibatkan siksa .” tinjauan kedua adalah , melihat halal bi halal secara linguistic ( kebahasaan ) kata halal dari segi bahasa berasal dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makan sesuai rangkaian kalimatnya. Makna – makna tersebut diantaranya adalah “ menyelesaikan problem atau kesulitan atau ‘ meluruskan benang kusut .” atau ‘ mencairkan yang beku .” semua hal ini adalah makna dari halal bihalal.

Dalam konteks masyarakat mambi aralle dan mamasa secara keseluruhan tradisi halal bi halal adalah merupakan tradisi sejak beberapa tahun terakhir pasca konflik tidak pernah lagi dilaksanakan oleh masyarakat, maka hal ini sangat berdampak buruk terhadap hubungan antar kelompok yang berada di wilayah tanah leluhur pitu ulunna salu , kekerasa komunal yang terjadi minyasahkan banyak dampak negative terhadap hubunagan social kemasyarakatan, padahalnya dulunya daerah ini adalah daeraha yang tentram dan damai dengan spirit persaudaraan dan semangat kultur yang kuat yang menjunjung tinggi Adat istiadat yang disebut dengan “ Adat tuo ‘ ( kemanusiaan ) dalam sejarah masyarakat aralle dan mambi adalah negeri yang damai dan sejahtera , dengan nilai spirit persaudaraan, nukan hanya terhadap sesame muslim akan tetapi dengan agama non muslim juga mempunyai hubungan yang sangat erat, konflik politik pemakaran kabupaten telah banyak membuat kita menjadi bercerai berai oleh kepentingan politik .
Persaudaraan yang terbangun beberapa abad menjadi runtuh oleh konflik, maka momentum halal bi halal adalah media yang paling epektif untuk menjadi jalur komunikasi antar komnitasyang ada diwlayah mambi dan aralle untuk membangun persaudaraan .

Makna idul fitri
Id berarti “ kembali “ Fitri artinya “ suci “ atau asal kejadian . maka dalam merayakan hari raya idul fitri seorang hamba harus mendaptkan predikat fitra untuk menuju taubat nasuha sehingga dengan hari raya idul fitra, poisi manusia dapat menjadi fitrah atau suci seperti dia baru keluar dari perut ibunya. Maka pra syarat adalah sampai sejauh mana hubungan seeorang dengan yang lain, seseorang muslim yang memiliki kesalahan terhadap manusia baik dia sesame muslim maupun non muslim kalau rasa maaf belum diberikan kepadanya maka belumlah dia akan mendapatkan predikat fitrah di hari kemenangan ( Edisi ketiga )


















.

Kamis, 06 November 2008

ASWAJA SANTRI

SEJARAH AWAL MASUKNYA ISLAM
DI TANAH MANDAR DAN PERKEMBANGANNYA




A. Pengantar
Topik Sejarah Awal masuknya Islam di Tanah Mandar telah menjadi objek penelitian keilmuan dan tajuk pembicaraan dalam berbagai seminar. Meskipun demikian tampak bahwa penggalan-penggalan objek studi dan pembicaraan itu masih belum diramu menjadi karya standar Sejarah awal masuknya islam di tanah Mandar. Itulah sebabnya dalam beberapa makalah seminar masih dijumpai beberapa hal yang belum baku untuk di pahami dan dijadikan dasar berpijak.

B. Pengertian
Sebagai pengertian awal dari Judul makalah ini, penulis memulai dari obyek study kajian kata “Mandar”. Ini penting diketahui karena lahirnya kata Mandar mempunyai hubungan timbal-balik dengan datangnya pengaruh budaya baru dan agama-agama baru selain agama kepercayaan yang dimiliki oleh nenek moyang mereka sendiri. pengertian Mandar. Dalam makalah dari H. Mochtar Husein (1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.
Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.
Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya To Manurung yang konon adalah manusia pertama di Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan To Wisse di Tallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang dikenal dengan To Kombong di Bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmia. Namun itulah realitas kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah Mandar.

C. Awal Masuknya Islam di Mandar Berdasarkan Hikayat
Dalam kisah kesejarahan awal masuknya islam di tanah Mandar termuat banyak versi dari kalangan sejarawan Nasional maupun sejarawan Lokal Mandar sendiri. Misalnya, dari Drs. H. Mochtar Husein, saat seminar sejarah Mandar di Tinambung 1971. “masuknya agama islam di Mandar tepatnya tahun 1617 M. Dikala Arajang Balanipa IV sedang mengatur pemerintahannya untuk kemakmuran dari kerajaan di Pitu Babana Binanga, saat itulah tiba-tiba muncul seorang ulama Syech Yusuf di Gowa yang diberikan gelar “To Salamaka”.
Dalam lontarak Napo Mandar, halaman 123 disebutkan “Tamodi’e pa’annana Sura’Ituan di Benuange. Iamo mepasallang...” ( Inilah surat Tuan di Benuang. Beliaulah yang mengislamkan kami...”). Dilanjutkan pada halaman 1999 “Dassama turuanna Kanna Ipattang anna Tuanta Salama’ di sanga Abdrrahimi Kamaluddin...” (Persetujuan dari Kanna Ipattang dengan Tuanta To Salama bernama Abdurrahim Kamaluddin...”). meskipun dalam Lontarak Gowa 1877:8 dinyatakan sebagai berikut “3 Juli, 8 Sauwala’ Here 1626 Hijarasanna ...Ia anne bedeng taunga naka’anakkang I Tuan Yusuf” (Pada tahun ini konon lahir I Tuan Syeck Yusuf...). Dan orang Mandar tetap meyakini nama Abdurrahimi Kamaluddin-lah yang menyebarkan islam pertama di Mandar.
Kapan persisnya To Salama datang di Binuang? Menurut pendapat Drs. Azis Syah, awal islam datang di Binuang tepatnya pada masa pemerintahan Raja Binuang ke IV yang bernama Sippajolangi, sekitar tahun 1610 M. Tuan To Salama yang bernama Abdurrahimi Kamaluddin tetap menyebarkan agama islam sampai ke kerajaan Balanipa (wilayah Tinambung sekarang) sebelah Barat dari kerajaan Binuang tempat To Salama datang pertama kali di tanah Mandar. Penganut agama Islam pertama di Balanipa adalah Raja Balanipa sendiri Daengta Kanna I Pattang dan diikuti oleh rakyat Balanpa secara terus-menurus.
Berselang satu tahun kemudian, Syechk Abdurrahimi Kamaluddin menyiarkan islam ditanah mandar, tiba-tiba datanglah dua orang yang tidak dikenali sebelumnya meminta menjadi murid dari Tuan To Salama Binuang. Ia berjanji akan membantu menyiarkan agama islam di Mandar sampai meninggal dunia. Kedua Mubaliq itu bernama Al-Magribi dari Maroko seorang syufi dan ahli kenegaraan. Mubaliq yang kedua bernama Syekh Al Ma’ruf, ia seorang Syufi dan ahli pertanian serta bangunan, ia sendiri berasal dari Samarkan dekat Buhara Rusia Selatan. Bagi Masyarakat di sekitar Binuang kedua mubalig itu diberikan gelar sebagai “Wali”. Syehk Al-Ma’ruf diberikan gelar “wali Losa” dan Syehk Al Magribi digelari “Wali Kitta”. Dan penganjur islam ini lalu mendirikan Masjid pertama di Binuang (sekarang masjid tua itu tinggal kerangka bangunannya saja sebagai bukti sejarahnya).

D. Awal Masuknya Islam Di Mandar Secara Formal
Secara formal pengembangn islam di Mandar yang bermula di Balanipa. Pada awal abad ke 17 melalui dua jurusan. Jalur Pertama, langsung ke Balanipa dan daerah sekitarnya, yaitu Allu, Palili serta sebagian Baggae Majene dan Binuang. Penganjurnya adalah Syehk Abdurrahimi Kamaluddin alias Tuan To Salama di Binuang. Mula-mula ia mendirikan mukim sebagai tempat pendidikan/pesantren dan mendirikan masjid pertama sekarang berada di kampung Tangnga-tangnga.
Raja pertama yang memeluk islam disana adalah Daengta Kanna I Pattang alias Daengta Tommuane. Dengan masuknya islam Daengta Kanna I Pattang maka seluruh masyarakat Balanipa sudah memeluk agama islam. Jalur Kedua, dari jurusan Kalimantan langsung ke Sendana dan Pamboang. Penganjur yang pertama ialah “I Kapuang Jawa” yang bernama: Raden Mas Arya Suriodilogo. Lalu muncul Syaid Zakariyah Al-Magaribih, Raja pertama yang memeluk islam di Pamboang adalah Mara’dia Pamboang yang bergelar Tomatindo Bo’di, sedangkan di kerajaan Banggae penganjurnya ialah, Syehk Abdul Mannan alias Tuan di Salabose.
Mara’dia Banggae yang menganut agama Islam ialah Tomatindo di Masigi bergelar Mara’dia Tondok. Di Pitu Ulunna Salu, penganjurnya ialah Tuan di Bulo-bulo. Indo Kadanenek yang pertama masuk islam ialah Todilamung Sallan. Dengan masuknya Indo Kadanenek memeluk islam, lalu diikuti pula oleh Indo Lembang, Tomakaka Mambi dan Mara’dia Matangnga. Sementara di Campalagian atau Tomadio penganjurnyaa ialah Tomatindo di Dara’. Dan penyebarnya ialah Tuan di Tanase. Setelah Tuan To Salama merasa sudah cukup mengembangkan islam di Mandar lalu ia berpesan untuk dimakamkan di Binuang di pulau Tangnga sampai saat ini. Dan kuburan beliau selalu ramai dikunjungi pesiarah dari berbagai daerah.

E. Masuknya Islam Di Mandar (Persfektif Sosial – Kultur Mandar Dari Berbagi Kalangan Sejarawan)
Pada tahun 1600 Kerajaan Pasir dan Kutai telah menjadi daerah Islam. Seabad kemudian menyusul Kerajaan Berau dan Bulungan. Di Sulawesi raja Goa tahun 1603 masuk Islam. Selanjutnya raja Goa mengislamkan daerah-daerah di sekitarnya seperti Bone [1606], Soppeng [1609], Bima (1626), Sumbawa (1626) juga Luwu, Palopo, mandar, Majene menjadi daerah Islam.
Jauh abad sebelum Islam dikenal di Nusantera, utamanya pada zaman kerajaan, dimana Islam belum sempat menyentuh mereka. Mandar hampir sama persis dengan kerajaan-kerajaan atau komonitas adat lainnya di nusantara juga ketika mereka belum mengenal adanya agama (baca : agama resmi). Sehingga yang dapat di cermati dari era atau zaman tersebut adalah adanya kepercayaan yang bisah diamati pada bentuk verbal simbol-simbol budaya.Yang kemudian dikenal sebagai religi budaya.
Yusuf Akib (2003) menjelaskan bahwa, simbol-simbol tersebut digunakan sebagai media untuk mengekspresikan emosi keagamaan, dengan syarat bahwa simbol tersebut harus bisa membangkitkan perasaan dan keterikatan. Lebih dari sekedar formulasi verbal dari benda yang dipercaya sebagai lambang.
Artinya, diyakini bahwa masyarakat adat Mandar ketika itu hanya tunduk dan patuh kepada kepercayaan animisme yakni, kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda, seperti pohon, batu, sungai dan sebagainya, selebihnya adalah juga tunduk dan patuh atas kepercayaan dinamisme atau; kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Artinya yang berkembang pada saat itu adalah, kepercayaan yang lalu kemudian di bahasakan sebagai religi. Yang untuk itu dapat dilihat dalam lokalitas adat yang hingga kini masih menyisahkan simbol-simbol budaya dan upacara-upacara ritual kepercayaan, yang tentu diyakini dapat membangkitkan perasaan dan keterikatan.
Di Mandar khususnya di wilayah pedalaman atau pegunungan Pitu Ulunna Salu telah mengenal sebuah kepercayaan sebelum Islam banyak dianut, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah, Adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai berpegang pada palsafah Pemali appa randanna. Sarman Sahudding (2004).
Sedang untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budaya hanya dapat ditemui pada peninggalannya yang berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia bersumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti, tradisi ritual mappasoro’ (atau melarungkan sesaji di sungai-pen). Atau mattula bala’ (menyiapkan sesaji untuk menolak musibah-pen) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa simbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.
Sementara khusus untuk agama resmi seperti Islam misalnya, sebahagian pandangan menyebutkan, pertama dikenal oleh masyarakat Mandar pada abad ke-16 M. saat itu berawal dari adanya para pedagang dari wilayah seberang yang masuk ke Mandar. Utamanya daerah yang berada dipesisiran. Konon ketika itu Daetta Tommuane, mara’dia yang memerintah di Balanipa didatangi oleh Abdurrahim Kamaluddin seorang pembawa siar Islam dari Gowa yang kemudian dikenal dengan sebutan Tuanta Yusuf alias Tuanta di Binuang sebab terakhir ia berdiam dan lalu meninggal dan dimakamkan di Binuang Ibrahim Abbas (1999).
Menurut sejarah Tuanta di Binuang inilah kemudian yang mula pertama menganjurkan dan mengerjakan Islam dengan pendekatan populis, yakni di tingkat masyarakat paling bawah (grass root). Adapun metode yang ia gunakan adalah mendirikan pusat-pusat pengkajian dan pengajian ke-Islam-an seperti pesentren. Pesantren yang paling pertama ia bangun adalah di daerah Tangnga-tangnga. Salah satu daerah yang berada dibawah kendali wilayah Mara’dia Balanipa. Dan di Tangnga-tangnga itu pula oleh Tuanta di Binuang kemudian mendirikan Mesjid yang pertama di Tanah Mandar. Hal ini kemudian ditandai dengan simbol yang dikenal sebagai mokking patappulo diwilayah tersebut, yang kalo diterjemahkan kurang lebih berarti empat puluh orang santri. Sebagai santri yang mula pertama diasuh di pesantren tersebut.
Sepeninggalan Tuanta di Binuang inilah kemudian secara pelan namun pasti penganut agama Islam di Balanipa Kian bertambah massif, hingga ke wilayah Allu, Palili, Binuang dan sebahagian Banggae. Lalu masi pada abad yang sama, di Pamboang juga didatangi oleh dua penganjur Islam dari jawa dan bernama Raden Suryo Dilogo dan Syekh. Zakariah yang berasal dari Maghreb di daratan Afrika Utara. Berawal dari situlah kemudian Islam mula pertama dikenal di Pamboang yang kemudian diiukuti oleh Mara’dia Pamboang yang lalu bergelar Tomatindo Diagamana, yang kalau diterjemahkan kurang lebih berarti orang yang meninggal ketika ia telah menganut agamanya, yakni Islam.
Layaknya sebuah seruan kerajaan, saat Mara’dia Pamboang tersebut memeluk Islam, maka berbondong-bondong pulalah kemudian masyarakat memeluk agama yang dianut oleh sang Mara’dia. Lalu pada abad ke-17 di Salabose Banggae juga Mara’dia Tondo’ juga didatangi oleh Syekh Abdul Mannan yang digelar sebagai To Salama’ di salah seorang penganjur Islam yang kemudian diamini oleh para petinggi kerajaan di Banggae kala itu. Namun versi lain juga menyebutkan, bahwa sejarah masuknya Islam di Mandar, tidaklah dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di Sulawesi. Hal itu diperkuat oleh berita yang dilansir oleh Anthony de Paiva seorang pedagang Portugis yang pernah berkunjung ke Sulawesi pada tahun 1543 dan menandakan bahwa saudagar-saudagar muslim sudah menginjakkan kaki sebelumnya ditanah Mandar, dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-15 M. Muh. Ridwan Alimuddin (2003).
Bahkan lebih jauh Muh. Ridwan Alimuddin menulis, sejarah masuknya Islam di Mandar juga menuai banyak pendapat, yang antara lain, melirik lontar Mandar yang menyebutkan, bahwa Abdurrahim Kamaluddin-lah yang mula pertama membawa syiar Islam ke Mandar, saat ia mula pertama merapat di bibir pantai Tammangalle. Dan Kanne Cunang atau mara’dia Pallis-lah yang mula pertama memeluk Islam lalu diikuti oleh Raja Balanipa ke-4; Daetta Tommuane alias Kakanna I Pattang. Pendapat ini kemudian dinilai banyak kekurangannya. Utamanya tidak ditemukannya keturunan Abdurrahmim Kamaluddin di Mandar.
Sedang menurut Lontar Gowa, Islam pertama kali masuk di Mandar di bawah oleh Tuanta Syekh Yusuf ( Tuanta Salamaka). Menurut pendapat ini pada tahun 1608 seluruh daerah Mandar telah memeluk Agama Islam. Namun tidak jelas benar apakah yang di maksud Tuanta Syekh Yusuf ini juga adalah Syekh Abdul Mannan yang membawa siar Islam di Banggae yang pertama kali diamini oleh Tomatindo di Masigi sekitar tahun 1608 atau bukan?. Sampai disini disebutkan pula, bahwa yang pertama memeluk agama Islam di Banggae adalah Sukkilan yang kuburannya dapat ditemukan di Mesjid Raya Majene kini.
Sedang versi lainnya juga menyebutkan, bahwa untuk menapak jejak langkah pertama siar Islam di Mandar juga dapat menilik surat yang dari Mekkah Pada I Muharram 1402 H. yang kalo ditukil, didalamnya menyebutkan tentang, kehadiran seorang Assayyid Al Adiy dan bergelar Guru Ga’de yang berasal dari keturunan Malik Ibrahim. Surat ini diperkuat dengan kuburannya yang hingga kini juga masih dapat dikunjungi di Desa Lambanan. Dan hingga kini masyarakat masih juga ramai mengunjungi kuburan yang dianggap keramat tersebut. Belum lagi, sampai saat ini silsilah keturunan Guru Ga’de yang juga masih berlanjut, seperti dikenalnya nama H. Muhammad Nuh yang tidak lain adalah cucu dari Guru Ga’de yang pada abad ke-18 merupakan orang yang pertama yang memperkenalkan pola pendidikan pesantren di Desa Pambusuang dan Campalagian.
Sementara itu, penyebaran Islam di Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang mula pertama diperkenalkan oleh Sayyid Zakaria dan Kapuang Jawa alias Raden Mas Suryo Adilogo yang tidak lain adalah murid dari Sunan Bonang yang datang dari Kalimantan menyebarkan siar Islam, lalu lanjut ke pulau Sulawesi dan meratap pertama kali di Mamuju.
Belum lagi banyaknya pemakaman To Salama’ lainnya di tanah Mandar, yang juga sekaligus dapat membuktikan betapa membuminya Islam di tanah Mandar. Salah satu yang masi ramai dikunjungi oleh banyak orang adalah, di Pulau To Salama’ di Kecamatan Binuang Kabupaten polewali Mandar. Dimana ditempat tersebut dan berada di atas puncak ketinggian dikebumikan Syekh Bil Ma’ruf yang juga diyakini adalah salah seorang menganjur Islam di tanah Mandar. Ditempat itu pula, tepat dipintu masuk makam jelas terbaca monument ordinantie nomor 238 tahun 1931 yang diperkirakan menyebarkan Islam di Mandar sekitar Abad ke-16 M.
Lantas bagaimana dengan Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Baik dicoba pula dibongkar sedikit memori sejarah peradaban perkembangan Islam di daerah tersebut. Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan, bahwa memahami sejarah awal mula Islam dikenal di Pitu Ulunna Salu terjadi sekitar abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan kehadiran Tuanta di Bulobulo di daerah tersebut dan membuat Indo Kadanene' atau yang bergelar Todilamung Sallang (dimakamkan dalam keadaan beragama Islam-pen). Yang lalu susul menyusul diikuti oleh raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo Lembang, Tomakaka' Mambi, Tomakaka' Matangga. Kecuali Tabang, Tabulahan dan Bambang hampir semua kerajaan-kerajaan di persekutuan Pitu Ulunna Salu mengikuti dan memeluk agama Islam.
Sedang Sarman Sahudding (2004) menulis, Islam pertama kali datang dibawa oleh para pedagang dari wilayah pesisiran pantai, seperti Haji Cendrana, Haji Tapalang, Haji Pure dan Daeng Pasore dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Daerah yang pertama didatangi oleh pedagang tadi untuk menyebarkan Islam tersebut adalah Lembang Matangga atau daerah Posi' melalui daerah Mapi dan Tu'bi. Hal lain yang juga dapat dijadikan titik tumpu penelusuran sejarah peradaban Islam di Pitu Ulunna Salu adalah melalui ditemukannya kuburan tua di daerah Matangga yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kuburan tempat dikebumikannya To Salama' atau sang pembawa Islam pertama kali ke daerah mi. Konon sebelumnya pernah datang dua orang yang tak dikenal sebagai pembawa Islam pertama.
Namun yang satunya kembali, sedang yang satunya lagi tinggal dan lalu meninggal di daerah Lembang Matangga, hingga akhirnya dikebumikan di tempat tersebut. Dari kuburan tempat dikebumikannya itulah kemudian, lalu dianggap keramat oleh peduduk sekitar yang hingga kini diyakini adalah kuburan Wall sang pembawa dan penyebar Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Sedang daerah kedua tempat penyebaran Islam di wilayah persekutuan ini adalah di daerah Talipukki. Sebagai Bahagian dari Lembang Mambi, di daerah ini juga ditemukan kuburan yang sama, juga diyakini sebagai pekuburan To Salama' yang dipercaya pertama kali membawa Islam ke Daerah Talipukki. Demikian pula halnya dengan daerah Lembang Aralle, dimana dari daerah ini didapatkan pembuktian adanya Daeng. Mappali yang tak lain adalah cucu dari Kada Nene'. Yang lalu dipercaya sebagai orang yang pertama memeluk Islam. Hal itu terbukti dengan gelar yang disandangkan atasnya yakni, TodilamungSallang(yang dikebumikan dalam keadaan muslim-pen). Sedang di Lembang Rentebulahan, juga dikenal seorang nama Tomesokko' Sallang (yang berkopiah muslim-pen) yang tak lain adalah cucu dari salah seorang cucu Indo Lembang di Rantebulan.
F. Penyebaran Islam di Mandar Tidak Terlepas dari Penguruh Kolonial dan Globalisasi.
Masuknya Islam di Mandar tidak dapat dipisahkan dengan masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan. Berdasarkan berita dari Anthony Djohan Effendi Paiva, seorang pedagang Portugis yang berkunjung ke Sulawesi Selatan pada tahun 1543, dapat diketahui bahwa pedagang-pedagang Muslim sudah menginjakkan kakinya di jazirah ini pada akhir abad ke-15. Dalam suratnya kepada Gubernur Portugis di Maluku, Paiva mengatakan antara lain :
“... Saya tiba di siang ketika matahari terbenam, dan raja menyuruh sambut kami di rumah wakilnya tadi, dan mengatakan bahwa besoknya dia akan menjadi Kristen. Lawan saya adalah pendatang Melayu Islam ...dari Semtana (Ujung Tanah), Pao (Pahang) dan Patane (Patani), yang berusaha supaya raja merubah maksudnya, karena sudah lima puluh tahun lebih mereka datang berdagang di situ...”

Berdasarkan surat tersebut, maka terasalah bagi Kristen adanya persaingan dengan Islam dalam menanamkan pengaruhnya. Bagi orang Portugis, kenyataan itu dianggap sebagai akibat kelemahan mereka yang tidak mampu mendatangkan pendeta-pendeta untuk mengajarkan agama Kristen kepada penduduk setempat. Hal ini dinyatakan dalam kepustakaan Portugis seperti yang dikutip oleh Arnold dan C.H. Perlas. Akan tetapi, perbedaan masuknya Islam ke suatu daerah bukan hanya karena kurangnya sumber otentik yang didapat tetapi juga kaburnya dasar konseptual yang dipakai, berupa percampuran antara datang, berkembang dan tampilnya Islam sebagai kekuatan politik. Hingga saat ini sejarawan di Sulawesi Selatan mengakui bahwa masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan ialah pada tahun 1603 M., yang pertama memeluk Islam ialah Raja Luwu di kampung . Patimang. Setelah memeluk Islam (mengucapkan syahadat) namanya menjadi Sulthan Waliyumidrakhudie. Kemudian atas usul Sultan agar Islam lebih jaya, menganjurkan kepada ketiga' datuk pembawa Islam masing-masing Datuk Sulaiman, Datuk Tunggal dan Datuk Bungsu, agar mendatangi Raja Gowa mengajak masuk Islam. Tangga122 September 1605 M. Raja Tallo', I Malaingkaan Daeng Manyonri dengan gelar Sultan Awwalul Islam, telah memeluk Islam kemudian I Manggarai Daeng Manra’bia dengan gelar Sultan Aluddin, Raja Gowa juga telah menjadi Muslim.
Setelah kedua raja tersebut memeluk Islam, maka berduyun-duyunglah rakyatnya memeluk Islam tanpa paksaan dan intimidasi. Berbeda dengan raja Bone pada mulanya hanya rajanya yang bersedia, tapi rakyatnya tidak. Nanti pada tahun 1611 Raja Bone dan rakyatnya telah masuk Islam setelah melihat perkembangan Islam yang pesat.
Masuknya Islam pertama di Mandar sampai saat ini masih terdapat beberapa pendapat, antara lain :
1. Menurut Lontar Balanipa, masuknya Islam pertama dipelopori oleh Abdurrahim Kamaluddin. la mendarat di pantai Tammangalle Balanipa. Yang pertama memeluk Islam ialah Kanne Cunang Maradia Pallis, kemudian Raja Balanipa IV: Daetta Tommuane alias Kakanna I Pattang.
2. Menurut Lontara Gowa, bahwa masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Tuanta Syekh Yusuf (Tuanta Salama). Bahkan seluruh daerah Mandar telah memeluk Islam pada tahun 1608.
3. Menurut salah sebuah surat dari Mekah bahwa masuknya Islam di Sulawesi (Mandar) dibawa oleh Assayyid Adiy dan bergelar Guru Ga'de berasal dari Arab keturunan Malik Ibrahim dari Jawa.

G. Akulturasi Budaya Mandar Dengan Agama Islam
l. Bidang Pendidikan.
Setelah Daetta Tommuane memeluk Islam terjadilah perubahan di bidang kehidupan masyarakat seperti bidang pendidikan. Dikumpulkan sejumlah 44 orang mukim pemuda remaja dididik menjadi kader-kader Islam. Oleh Raja Balanipa ditetapkan satu keputusan kerajaan yang berbunyi sebagai berikut :
“Naiya mukim tannaindo allo, tannaimbui iri’ tandipandengngei, tandi pambulle-bullei, tandipa’ jagai, tandipannangi, Madondong duambongi anna lopai lita, maloli dai do timor tarruppu, maloli naun di wara tarruppu;”
Artinya: Adapun mukim itu tak tertimpa panas teriknya matahari, tak terhembus tiupan angin, tak akan dibebani tugas-tugas dan pikulan yang berat, tak akan dijadikan hamba sahaya. Dan apabila negara dalam keadaan panas, ke timur atau ke barat, mereka tak akan pecah (tak boleh diganggu).

2. Pemerintahan.
Struktur pemerintahan telah mengalami pula perubahan, yaitu dengan menetapkan sorang kali (Kadhi) sebagai Mara'dianna Sara'. Diadakanlah pertandingan membaca al-Qur'an, yaitu siapa yang dapat menguasai al-Qur'an dalam tempo satu bulan itulah juara pertama dan itulah yang menjadi Kali Balanipa I. Yang berhasil adalah seorang keturunan bangsawan yang bernama I Tamerus alias Isinyalala. (ini menurut pendapat M. Darwis' Hamzah), dan beberapa pendapat lain lagi dari para tokoh ' budayawan Mandar lainnya.

3. Bidang Kesenian
Jika sebelum datangnya Islam, maka upacara tari-tarian yang dikenal dalam kerajaan berfungsi sebagai penyembahan kepada dewa, dengan datangnya Islam, maka seni tari hanya berfungsi sebagai bagian dari adat saja.
Tapi bagi orang yang telah menamatkan al-Qur'an dikenal adanya upacara diarak keliling kampung dengan menaiki saiyang pattudu' (kuda yang pintar menari) sambil diikuti irama rebana, lalu di kanan kirinya kaum muda remaja memperlihatkan kebolehannya berkalinda'da' (bersyair).

4. Masalah perkawinan
Sampai pada saat ini di dalam perkawinan masih terdapat pengaruh ajaran Islam yang sukar ditumbangkan, sekalipun di sana sini masih terdapat sebahagian cara-cara yang tidak rasional dari pengaruh animisme dan Hindu. Yang menonjol adanya pengaruh Islam ialah adanya khutbah (pinangan) sebelum nikah, mangino (bermain-main dan berkejar-kejaran) sesudah akad nikah. Ini pernah dilakukan Nabi dengan Zainab. Penggunaan real (uang Saudi sekarang) di dalam mahar, dan yang bertanggung jawab sesudah nikah adalah kaum lelaki. Ini sesuai firman Allah, yang artinya laki-laki adalah bertanggung jawab terhadap kaum wanita. Syarat-syarat calon suami adalah tamma' topa mangaji (harus tamat: mengaji).

5. Masalah selamatan
Hingga saat ini selamatan masih dilakukan dengan baik oleh masyarakat Mandar. Pesta atau selamatan yang dibenarkan Islam ada tujuh perkawinan, penyunatan, akikah, pindah rumah, bepergian jauh, setelah kembali dari bepergian dan tasyakkur nikmat. Upacara kenduri dalam kematian, adalah pengarah Hindu yang diislamisasikan oleh para muballigh. Pesta-pesta lain seperti Maulid. Mi'raj. Halal bi Hala'la adalah termasud yang tidak merusak: Islam. Adapun selamatan pendirian rumah dengan menggantungkan air di dalam botol, kelapa, pisang pada tiang rumah bukanlah dari ajaran Islam; perlu diberantas.

6. Masalah pakaian
Pakaian wanita yang terdiri dari bayu pokko atau pasangan (Semacam baju bodo), masih terasa adanya pengaruh Islam. Yaitu bila melihat baju bodo yang sangat tipis dipakai oleh gadis-gadis remaja dari daerah Bugis/Makassar, ternyata di daerah Mandar, gadis-gadisnya belum berani merubah dari ukuran tebal menjadi tipis. Ini perlu dipertahankan, sebab di samping budaya turun temurun yang telah mendara daging, semangat inipun dijiwai oleh agama yang banyak dianut oleh masyarakat yaitu Islam. Demikian seorang pria dianggap kurang berakhlak jika berhadapan orang tua lalu tidak pakai kopiah atau songkok atau sapu tangan. Bahkan orang yang sudah haji tidak mau




H. Kesimpulan
Berdasarkan sekian banyak sumber di atas, maka penulis belum dapat mengambil kesimpulan siapakah sebenarnya yang paling mendekati kebenaran. Akan tetapi jika kita hendak menganalisa, maka pendapat pertama dan inilah yang banyak dikenal selama ini, mempunyai banyak kekurangan dari segi penulisan sejarah. Yaitu pertama nama Kamaluddin penyempurna agama, tidak seperti gelaran Raja Tallo disebut Awwalul Islam, karena dialah yang pertama memeluk Islam, sedang Alauddin dianggap dialah yang pertama meninggikan Islam.
Kelemahan yang lain, mengapa keturunan dari Abdurrahim Kamaluddin selama beratus tahun tidak dikenal dan vakum sampai sekarang? Adapun versi kedua tentang Syekh Yusuf, mungkin yang dimaksud di sini ialah Syekh Abdul Manna yang membawa agama Islam pertama ke kerajaan Banggae (Majene) dan diterima oleh Tomatindo di Masigi sekitar tahun 1608. Nama Mara'dia Banggae pertama memeluk Islam ada kuburnya masih terdapat di Mesjid Raya Majene (sekarang), ialah Sukkilan. Sesudah kerajaan Banggae memeluk Islam ia berkunjung ke Kutai dan dihidangkan babi itu tidak dimakan karena telah memeluk lslam Kutai baru resmi menerima Islam pada tahun 1610.
Adapun versi ketiga yang diperkuat pendapat dari Mekah, yaitu Guru Ga'de (Al-Adiy), kuburnya masih didapati di Lambanan (Kecamatan Tinambung) diziarahi oleh orang sebagai yang dianggap keramat. Keistimewaannya mempuyai silsilah yang lengkap sampai tujuh lapis dan mempunyai keturunan yang berkembang, mempunyai perawakan mirip Arab, cucunya yang kedua bernama H. Muhammad Nuh pada abad ke- 18 yang pertama membuka sistim pesantren di Pambusuang dan Campalagian. Penyebaran agama Islam ke daerah Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang ia seorang yang bernama Kapuang Jawa dan Sayyid Zakaria. Konon Kapuang Jawa itu adalah anak buah Sunan Bonang yang datang ke Kalimantan kemudian melanjutkan usaha ke Sulawesi (mendarat di Mamuju). Dan Kapuang Jawa itu menurut pendapat beberapa pengamat sejarah, bernama Raden Mas Surya Adilogo. Pengaruh Islam terhadap perkembangan kebudayaan Mandar sudah tentu ada. Namun hal itu dianggap Pengauh yang hampir sama di setiap daerah yang dimasuki Islam.
I. Penutup
Pengkajian sejarah awal masuknya islam di Tanah Mandar hingga saat ini masih terus bergulir. Adalah sebuah kenisayaan apabila nilai dan spirit ajaran islam digunakan masyarakat Mandar dalam menata kehidupan budaya sehari-hari yang terakumulasi menjadi sebuah peradaban yang adiluhung mustahil tidak bisa ditemukan titik awal dari kebenaran sejarahnya. Meski dalam setiap pengungkapan maknanya dan fakta realitas hanya sepenggal saja, tapi itu sudah merupakan penghormatan tertinggi bagi sejarah sebagai ilmu pengetahuan. Setidak-tidaknya apa yang kami tulis ini adalah mendekati kebenaran dan menjadi sebuah langkah awal dalam menelusuri jejak-jejak sejarah awal masuknya islam di Tanah Mandar.
Setiap perbuatan manusia melahirkan sebuah karya baru yang nantinya bisa membawah kehal-hal yang negatife atau positif, karya yang dihasilkan ini sangat jauh dari kesempurnaan sebuah karya ilmiah. Sumbang saran dari pembaca, teman, sahabat dan yang peduli tentang ini semua kami dengan bijak menerima segala masukan dan saran-saran kritikan konstruktif sehingga karya ini akan menajdi monumental dimasa akan datang.
Ucapan terima kasih yang tidak ternilai harganya penulis persembahkan kepada sumber-sumber fakta, yang bersusah paya melakukan kegiatan mulia sehingga realitas sejarah ini dapat muncul kepermukaan dan dikonsumsi oleh generasi akan datang.₪
J. Daftar Pustaka
A.Muis Mandra, “Mandar Dalam Perspektif Lontar Mandar”, (Makalah Seminar Sehari Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Oleh DPD KNPI Polewali Mandar); Polewali, 2004
Anwar Sewang, “Etnografi Budaya Masyarakat Mandar”.( Sosialisasi Siri pada Masyarakat Mandar), Penerbit Yayasan Maha Putra Mandar, 2001)
Azis Syah, “Kisah Syekh Abdurrahim Kamaluddin To Salama Tuan Di Binuang”. Cet. I; Polmas: Yayasan Makam Tosalama Tuan Binuang, 1994
Edward L. Poelinggomang, “Mandar Dalam Perspektif Kesejarahan”, ( Seminar Sehari Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Oleh DPD KNPI Polewali Mandar), Polewali, 2004
Ishak Ngeljaratan, “Sebuah Refleksi Kritis Tentang Mandar”, (Makalah Seminar Sehari Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Oleh DPD KNPI Polewali Mandar); Polewali, 2004
Syariat Tadjuddin. Dkk, “Menelisik Sejarah Mandar (Membaca Mandar hari ini dalam jejak alegori budaya ); Polewali, 2004
Tenriaji AGJ Wolhoff, “Lontar Mandar”. Cet.Yayasan Mattes Makassar; Makassar.Tt.Thn

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Pengikut