Rabu, 15 April 2009


bloque

Selasa, 14 April 2009

SETIAP AKTIFITAS DALAM ISLAM MENGANDUNG DIMENSI RITUAL DAN SOSIAL

Setiap aktifitas ibadah dalam islam mengandung dimensi ritual dan sosial
. Dimensi ritual adalah hubungan manusia dengan Tuhannya, sedang dimensi sosial yaitu hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan. Keseimbangan semacam itulah yang kemudian diteladankan oleh Rasulullah saw.
Dimensi ritual dan sosial adalah ibarat satu keping mata uang dengan dua sisinya, satu sama lain tak mungkin dipisah jika mata uang itu tak ingin kehilangan makna. Begitu pula dengan ibadah shalat, ia akan kehilangan ruhnya jika dilakukan sekedar ritual semata, tanpa sisi social.
Karena itu, khusyuk dalam shalat tidak saja wajib hukumnya, namun juga satu-satunya jalan memaknai hakikatnya, kecuali ia dapat menghayati lafad yang dibacanya. “Kamu tidak mendapat pahala dari shalatmu, kecuali kamu dapat menghayati apa yang dibaca didalamnya” begitu sabda Rasulullah dalam riwayat Al-Baihaqi (w.458H)
Agar bisa khusyuk dalam shalat, pertama-tama kita memang harus tahu arti dari bacaan yang kita lafadzkan. Berikutnya, bacaan-bacaan dalam shalat itu kita hayati sepenuhnya agar makna semua bacaan-bacaan itu meresap kedalam hati sanubari kita. Memang, untuk bisa khusyyuk dalam shalat bukanlah perkara yang mudah. Untuk itu, Rasulullah saw berpesan, “apabila kamu berdiri melaksanakan shalat, maka hendaklah shalat seperti shalatnya orang yang hendak meninggal dunia.” (HR. Ahmad)
Sebagaimana juga ditulis Al-Ghazali dalam bukunya, Ihya Ulumuddin, khusyuk adalah ruhnya shalat. Sedangkan khusyuk itu adalah buah dari iman dan hasil keyakinan akan keagungan Allah. Siapa pun yang dikarunia hal itu, maka ia akan khusyuyk di dalam shalat dan luar shalat. Karena, yang menimbulkan khusyuk adalah kesadaran bahwa Allah selalu mengamati hamba-Nya di manapun dia berada.
Bila saja rasa khusyuk itu telah bersemayam di hati setiap orang yang shalat, tentu tak aka nada lagi orang muslim yang gemar melakukan korupsi, manipulasi, nepotisme, perjudian, penipuan, pelacuran, dan kejahatan lainnya. Tapi, apakah kenyatannya? Shalat setiap hari, tapi tindakan-tindakan culas pun masih sering dilakoni.
Kita lihat saja, belakangan ini, macam-macam da’I dan pengkhotbah mengisi pelbagai acara di televise dengan kepala berlilit sorban tebal dan mahal. Mulai dari pengajian fikhi, manajemen hati, hingga mengajak orang-orang menangis sesenggukan. Acara televise pun semakin islami, mulai dari pentas dai cilik, dan dewasa hingga sinetron – sinetron hantu dan kuburan yang “menjual” Ayat-ayat Al-Qur’an.
Tetapi semua itu, banyak kalangan kritis yang menghawatirkan kegandrungan itu. Seperti Asep Muhyiddin dan Asep Salahuddin, dalam bukunya “Shalat bukan sekedar ritual” tak habis pikir mengapa pembangunan tempat-tempat ibadah di negeri ini bersamaan dengan berdirinya tempat-tempat maksiat? Setiap saat kitab suci ditadaruskan selaras dengan derasnya bacaan-bacaan primitive, kuota haji terus meningkat berbanding lurus dengan naiknya angka kemiskinan. Belum lagi dosa-dosa sosial lainnya yang dilakukan oleh masyarakat kita yang mengaku sebagai orang-orang religious. Bila ini terus berlanjut, tidak mustahil kita termasuk dalam golongan yang mendapat cap sebagai “pendusta agama” atau tergolong kedalam ayat,”celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai terhadap shalatnya” (Al-Ma’Ûn: 4-5). Astagfirullah!!
Shalat bukan sekedar ritual, ummat islam jangan terlalu bangga terhadap rutinitas ibadah-ibadah ritualnya, tetapi tidak memperhatikan amal-amal social. Dengan kata lain, kita jangan sampai terjebak pada kamuflase dan terlupakan dari peran yang sesungguhnya, yakni membela kaum sesama. ***


Pengikut