Senin, 11 Mei 2009

strategi lembaga pendidikan tinggi

STRATEGI LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI
DALAM TRANSFORMASI SOSIAL
*

Muhsin Mahfudz
**

I. Pendahuluan
Kebutuhan terhadap Perguruan Tinggi merupakan hal yang niscaya untuk merespons problem kehidupan manusia yang kompleks seiring kemajuan sains dan teknologi. Sebagian komponen masyarakat terdidik menyadari bahwa lembaga pendidikan tinggi semakin penting sebagai event-grade perubahan sosial dalam masyarakat menuju kehidupan yang lebih bermartabat, berkeadaban dan bermakna. Pada saat yang sama, Perguruan Tinggi semakin mengukuhkan visinya sebagai centre of excellence dalam penguatan aspek moral dan intelektual manusia.
Secara filosofis, manusia sebagai makhluk Allah telah dilengkapi dengan berbagai potensi dan kemampuan. Potensi itu pada dasarnya merupakan anugerah Allah kepada manusia yang mestinya dimanfaatkan dan dikembangkan. Di samping memiliki kesamaan dalam sifat dan karakteristiknya, potensi tersebut juga memiliki tingkat dan jenis yang berbeda-beda. Pendidikan dan pengajaran pada umumnya berfungsi untuk mengembangkan potensi tersebut agar menjadi aktual dalam kehidupan sehingga berguna bagi orang yang bersangkutan, masyarakat dan bangsanya serta menjadi bekal untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Dalam pembangunan nasional, manusia memiliki peranan yang strategis yaitu sebagai subyek pembangunan. Untuk dapat menyelesaikan peran subyektifnya, maka manusia Indonesia harus dikembangkan menjadi manusia yang utuh dan berkembang semua potensinya secara wajar. Pendidikan tinggi mengemban amanah dalam mengembangkan potensi tersebut agar tercipta manusia utuh sekaligus merupakan sumber daya pembangunan.
Selanjutnya, pendidikan nasional berusaha menciptakan keseimbangan antara pemerataan kesempatan dan keadilan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik di semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tanpa dihambat oleh perbedaan jenis kelamin, suku, budaya dan agama. Meskipun demikian, kesempatan yang sama tersebut pada akhirnya akan sangat ditentukan oleh kondisi obyektif peserta didik, yakni kesiapan dan kemauannya untuk berkembang dan mencapai keunggulan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan intensitas bukan hanya memberikan kesempatan yang sama, melainkan memberikan perlakuan yang sesuai dengan kondisi obyektif peserta didik.
Idealisasi konsep filosofis pendidikan tinggi di atas, terkadang – untuk tidak mengatakan umumnya – bertentangan dengan realitas dunia pendidikan berbasis kampus. Banyak di antara Perguruan Tinggi mempertontonkan kepada kita “alienasi kampus” atau “eksklusifisme kampus”. Lembaga pendidikan tinggi sering dipandang sebagai dunia lain dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam pandangan sebagian masyarakat, lembaga pendidikan tinggi dipandang sangat elitis dan jauh dari keterjamahan masyarakat awam.
Kelihatannya, ada upaya yang sedang dibangun oleh masyarakat kampus ke arah aktualisasi peran dalam masyarakat, akan tetapi dengan cara-cara elitis dan kekuasaan yang ditempuhnya, justru sering melukai perasaan masyarakat luas. Oleh karena itu, diperlukan sinkronisasi antara konsep filosofis, metode dan implementasi peran lembaga pendidikan tinggi dalam perubahan sosial.

II. Anomali Perguruan Tinggi di Indonesia
Tidak bermaksud mengeneralisir semua Perguruan Tinggi, tetapi anomali yang dipertontonkan oleh sebagian Perguruan Tinggi ternama di Tanah Air cukup berperan besar mencitrakan dunia pendidikan tinggi sebagai lembaga yang mudah melakukan vandalisme dan brutalisme.
Pasca jatuhnya regim Orde Baru, 1998, Perguruan Tinggi merasa memiliki andil besar dalam peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi. Sayangnya, andil yang cukup menyejarah itu tidak dikawal dengan baik oleh rasionalitas dan moralitas sehingga kemenangan dunia kampus direspons secara berlebihan dan euforik. Dekade terakhir, masyarakat kampus menyuguhkan model unjuk rasa yang kurang bersahabat bagi masyarakat luar kampus. Jalanan disulap menjadi pengadilan, brutalisme dijadikan model pembelajaran kebebasan berpendapat dan vandalisme dilegitimasi untuk subuah perusakan terhadap fasilitas umum.
Seakan melangkapi anomali yang berlangsung dalam dunia pendidikan tinggi, banyak Perguruan Tinggi hanya melaksanakan fungsi otoritasnya mengeluarkan gelar akademik dengan mengabaikan fungsi esensialnya secara akademik. Mungkin sudah akrab ditelinga kita bahwa ada Perguruan Tinggi yang melakukan “komersialisasi gelar akademik” karena kondisi dilematis yang diciptakan oleh manajemennya sendiri. Kondisi dilematis yang saya maksud adalah keinginan Perguruan Tinggi mendapatkan mahasiswa yang banyak tetapi tidak memiliki daya saing di tengah ketatnya kompetisi yang menawarkan kualitas dan kenyamanan. Akhirnya, Perguruan Tinggi yang tidak rela tergilas menempuh cara-cara yang instan untuk mendapatkan input dengan “menjual” kemudahan memperoleh gelar tanpa harus “berdarah-darah” melewati bangku kuliah.
Kondisi ini, tentu, tidak akan terjadi jika Perguruan Tinggi berpegang teguh pada misi dan visinya. Perguruan Tinggi adalah tempat penyelenggaraan pendidikan tinggi di mana mahasiswa menjadi seorang profesional atau ilmuwan, dan menjadi orang terpelajar (Ortega, 1944). Di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut belajar bersungguh-sungguh untuk menjadi seorang profesional, tidak hanya mampu melakukan sesuatu sesuai keahliannya, tetapi juga mampu menjelaskannya secara filosofis dan teoretis kepada khalayak yang membutuhkan profesionalismenya.
Perguruan Tinggi juga merupakan tempat mahasiswa melakukan riset ilmiah dan menyiapkan diri menjadi peneliti dan Ilmuan masa depan. Perguruan Tinggi adalah tempat mengajarkan hal-hal universal, bersifat umum, dan berlaku bagi semua orang di seluruh dunia (John Henry Newman, 1915). Dengan demikian, output sebuah Perguruan Tinggi harus berwawasan universal, meskipun tetap harus memahami nilai-nilai kearifan lokal. Mahasiswa yang hanya asyik dengan budaya “bangsa kerumunan” di dalam maupun di luar kampus akan teralienasi ketika orang-orang sekitarnya becara mengenai perkembangan globalisme, semisal teknologi berbasis ICT atau isu mengenai kecenderungan perilaku masyarakat dunia.
Selain mencetak profesional atau ilmuwan, Perguruan Tinggi juga melahirkan manusia terpelajar (Ieducated people). Manusia terpelajar adalah manusia yang memiliki kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Saleh secara ritual akan membentuk manusia yang sadar akan eksistensinya sebagai makhkuk Allah sadar akan keterbatasannya sebagai manusia, sedangkan saleh secara sosial menciptakan manusia yang sadar lingkungan, sadar sebagai makhluk sosial dan sadar sebagai pewaris kelangsungan hidup di muka bumi ini [QS. Al-Anbiya (21): 105].

III. Konsep “CSR” dan Perguruan Tinggi
Terdapat ragam definisi tentang Coorporate Social Responsibility (CSR). Mulai dari definisi yang dirumuskan oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), International Finance Corporation (IFC), Institute of Chartered Accountants (ICA), hingga European Commission (EC). Saya hanya ingin mengutip definisi yang dikeluarkan oleh Canadian Government:
Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang. (Wikipedia, 2008)
Dalam konteks global, istilah Coorporate Social Responsibility (CSR) mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni pertumbuhan ekonomi (economic growth), pelestarian lingkungan (environmental protection), dan kesetaraan sosial (social equity), yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). (WordPress.com weblog. 4 Mei 2009)
Di Tanah Air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan
Sebetulnya, CSR adalah bentuk pertanggung jawaban sosial perusahaan, akan tetapi dari sisi manajemen Perguruan Tinggi dewasa ini juga sama dengan Perusahaan Jasa. Karena itu, Perguruan Tinggi juga harus mempunyai tanggung jawab sosial. Bukankah juga wawasan Tri Darma Perguruan Tinggi, khususnya pada Tri Darma ketiga yakni Pengabdian Masyarakat mengamanatkan adanya tanggung jawab sosial yang melekat pada setiap lembaga Pendidikan Tinggi.
Munculnya system manajemen yang relative baru dalam dunia pendidikan tinggi, seperti Badan Layanan Umum (BLU) dan terakhir yang masih dalam perdebatan sengit, Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan system yang cenderung mengadopsi manajemen perusahaan, di mana unsur profit menjadi bagian tak terpisahkan dari idealisme akademik. Perguruan Tinggi dituntut sebagai lembaga yang harus memenuhi standar Internasional, atau yang lebih dikenal dengan World Class University (Universitas Kelas Dunia). Untuk memenuhi tuntutan tersebut, tentu diperlukan biaya besar dan mandiri dalam arti tidak lagi hanya mengharapkan dana pemerintah, tetapi sumber dan pengelolaan keuangannya diatur secara independen oleh universitas bersangkutan.
Peran CSR Perguruan Tinggi mestinya bisa bersinergi dengan CSR perusahaan mengingat Perguruan Tinggi diaharapkan sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Kerjasama ini dapat berupa penelitian, seminar, dan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah Perguruan Tinggi sudah melakukan penelitian tentang implementasi program CSR di kalangan pendidikan yang hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan oleh kalangan pendidikan. Contohnya hasil riset pada siswa salah satu SMA di Makassar, mereka memerlukan bantuan biaya sekolah untuk transportasi dan uang sekolah. tetapi yang diperoleh dari program CSR perusahaan pemberi bantuan tersebut berupa seperangkat komputer dan internet berikut pelatihan bagi guru. Jelas program CSR tidak mengenai sasaran. Apa yang diperlukan oleh siswa dengan apa yang diberikan perusahaan melalui program CSR sebelumnya tidak tepat sasaran. Permasalahan ini tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan pemberi bantuan tetapi setelah dilakukan riset, ditemukan terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan siswa dengan apa yang diberikan perusahaan. Keadaan ini telah disampaikan kepada pihak pemberi bantuan melalui seminar, dan pihak perusahaan menyadari hal ini. Karena keterbatasan SDM dan waktu, pihak perusahaan berusaha agar lebih efektif lagi untuk ke depannya.
Contoh lain, Mahasiswa ITB telah melakukan riset pada masyarakat sekitar kampus mereka, tepatnya di daerah Cisitu. Hasil riset menghasilkan 40% anak yang putus sekolah, 50% Ibu rumah tangga buta aksara, 75% pemuda yang tidak memiliki pekerjaan. Dari hasil riset ini mahasiswa mencoba menindak lanjuti dengan cara menyusun program pemberantasan buta aksara, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan informal. Program ini memerlukan tempat perlatihan, SDM, dan dana. Untuk itu, mahasiswa mengajak perusahaan telkom, BNI, dan PLN bekerjasama untuk melaksanakan program tersebut melalui program CSR yang ada pada masing-masing perusahaan. (WorldWeb.com, 5 Mei 2009).
Masih banyak kegiatan atau usaha yang mengarah pada menjalin hubungan baik antara institusi Perguruan Tinggi dengan masyarakat sekitar kampus. Public Relations (PR) atau bidang kerjasama yang ada di Perguruan Tinggi melalui program-programnya harus berperan aktif dalam mengimplementasikan tanggungjawab sosial institusi. Seperti program-program pembinaan dan pendampingan PKL di sekitar kampus, rumah kos-kos-an, Implementasi Pendidikan Inklusi, pemberian beasiswa kepada anak-anak yang tidak mampu pada masyarakat disekitar kampus, dan program-program community development lainnya.
Tentunya masih banyak program-program CSR lainnya yang bisa dikemas secara kreatif dan inovatif oleh para praktisi PR di Perguruan Tinggi yang sesuai dengan kemampuan dan situasi pada Perguruan Tinggi tersebut agar program-program humas itu lebih bermakna bagi masyarakat, dan pekerjaan PR tidak hanya menjual informasi dan promosi melalui media massa cetak atau elektronik saja yang mengeluarkan biaya cukup besar tapi tidak berdampak kepada kebutuhan masyarakat.
IV. Perguruan Tinggi Islam sebagai Agen Perubahan Sosial
Cita-cita Perguruan Tinggi Islam antara lain terciptanya kondisi keberagamaan yang dewasa dan semakin kuat sehingga mampu mengatasi pengeruh negatif modernisme, mampu memainkan peran dalam pengembangan akhlak mulia dan kepribadian bangsa, mampu menjalin hubungan harmonis antar umat beragama dan umat beragama dengan pemerintah untuk mendukung pembanguna nasional, dan mampu memperlakukan alam lingkungan secara arif dan bijaksana.
Jika menelisik cita-cita di atas, sebetulnya bisa disederhanakan bahwa Perguruan Tinggi Islam merupakan agen “penangkaran” manusia yang kelak akan memiliki kesalehan ritual dan kesalehan sosial, Karena kesalehan yang ideal menurut al-Qur’an adalah kesalehan yang memadukan secara sinergis antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Perpaduan tersebut, boleh jadi, karena dalam setiap kesalehan ritual terdapat unsur kesalehan sosial, demikian pula sebaliknya. Persoaalannya adalah kesalehan ritual tidak dapat diukur ketika ia tetap dalam bingkainya. Kesalehan ritual akan lebih terukur jika ia telah membumi dalam ranah kesalehan sosial. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kesalehan ritual tanpa kesalehan sosial adalah kesalehan yang tidak berarti bagi kehidupan sosial. Itulah kiranya sehingga banyak kecaman ayat al-Qur’an terhadap orang yang saleh secara ritual tetapi mengabaikan kesalehan sosial. Antara lain, misalnya QS. Al-Ma’un (107): 1-7.
Kaitannya dengan peran sosial Perguruan Tinggi Islam bahwa sumber otoritatif Islam, al-Qur’an, memuat banyak teks yang mendukung ibadah sosial dibandingkan dengan ibadah individualistik. Maka mestinya Perguruan Tinggi Islam dapat mengambil peran yang lebih besar lagi sebagai agen perubahan sosial menuju cita-cita luhur Ilahiyah, baldatun tayyibatun wa rabbun gafur.
V. Kesimpulan
Keterpurukan citra Perguruan Tinggi, terutama setelah jatuhnya Orde Baru, disebabkan oleh fenomena elitisasi kampus. Lembaga Pendidikan Tinggi semakin jauh dari kebutuhan masyarakat. Output Perguruan Tinggi tidak banyak berkonstribusi bagi kelangsungan kehidupan sosial. Juga Perguruan Tinggi terkadang menjalankan visinya sendiri tanpa menyadari bahwa visinya jauh dari kebutuhan ril masyarakat.
Untuk itu, Perguruan Tinggi mestinya kembali menjalankan kewajiban sosialnya sesuai dengan cita-cita luhurnya. Sudah saatnya Perguruan Tinggi mengadopsi peran sosial yang diwajibkan kepada perusahaan profit semisal CSR. Peran tersebut bisa dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan atau lembaga pemerintah lain untuk bersama-sama meningkatkan martabat masyarakat sekitarnya. Gagasan ini diperlukan bukan saja karena Perguruan Tinggi mampu melakukan need assessment terhadap kebutuhan masyarakat, tetapi juga Perguruan Tinggi memiliki kemempuan akademik dan skill untuk mengiplementasikan cita-cita luhur bangsa.
Khusus bagi Perguruan Tinggi, mestinya lebih optimal dalam memainkan peran dalam mewujudkan perannya dalam melakukan transformasi sosial, karena di samping memiliki legitimasi teks suci, juga karena memiliki keterampilan dan wawasan akademik yang diperlukan dalam kerja-kerja sosial yang bernilai ibadah di sisi Allah swt.
wallahu a’lam bi al-sawab



Makassar, 5 Mei 2009
* Makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan Nasional “Peran Strategis Lembaga Pendidikan dalam Transformasi Sosial” yang dilaksanakan oleh LP3M STAI DDI Polman, Sulbar, tanggal 09 Mei 2009 bertempat di Gedung PKK Polman, Sulawesi Barat.
** Dosen Tetap dan Peneliti pada Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

Pengikut