Minggu, 08 Februari 2009

bencana kapal teratai di majene

bloque

BENCANA KAPAL DI PERAIRAN MAJENE

Pada tgl. 10 Januari 2009 pukul 07:00 Wita kapal Teratai Prima berangkat meninggalkan pelabuhan Parepare, Sulsel, menuju Samarinda, Kaltim dengan sarat penumpang dan muatan barang. Kapal Teratai Prima adalah kapal swasta yang melayari jalur ini secara tetap. Tidak jelas apakah kapal ini adalah kapal kargo atau kapal penumpang, tapi yang pasti di lambung kapal ada barang-barang kargo, seperti beras, pisang, dan berjubel penumpang. Pada tgl. 11 Januari 2009 pukul 02:00 lewat dinihari kapal karam dihantam ombak yang tingginya mencapai 4 m di perairan Majene, Sulbar, yang lokasinya berdekatan dengan lokasi jatuhnya pesawat Adam Air beberapa waktu lalu.
Saat terjadi kecelakaan ini, bukan hanya membuat keluarga korban bersedih karena ada yang meninggal, tetapi ini ditambahi dengan ada sejumlah penumpang yang tidak terdaftar di manifes kapal yang ada di Administrasi Pelabuhan Parepare. Menurut manifes, jumlah penumpang adalah 250 orang (jumlah kapasitas resmi adalah 300 orang), ternyata dari informasi keluarga korban ada lagi sanak saudara mereka yang tidak tertulis dalam manifes ini. Menurut Posko Keluarga Toraja ada 179 orang lainnya yang tidak terdaftar. Tidak jelas mengapa keluarga mereka tidak terdaftar, padahal sebagian dari mereka membeli dari agen perjalanan yang resmi. Ada pula yang mengatakan bahwa penumpang itu tidak membeli tiket, tetapi membayar di kapal. Pada pihak lain dari 250 nama yang terdaftar ada nama yang ditulis berulang-ulang. Entahlah di mana letak kesalahan ini. Jika benar klaim keluarga korban, itu berarti ada 429 penumpang di kapal; ini berarti jauh melebihi kapasitas kapal.
Setelah karamnya kapal, Tim SAR Nasional bekerja sama dengan berbagai pihak terkait untuk mencari korban. Hingga hari kesepuluh, saat pencarian dihentikan hanya ditemukan 44 orang, yang terdiri dari 9 orang ditemukan meninggal (5 orang dapat diidentifikasi dan 4 orang tidak bisa dikenali lagi) dan 35 orang selamat, termasuk ABK (Anak Buah Kapal); selebihnya tidak diketahui nasibnya. Operasi pencarian korban secara resmi dihentikan oleh Tim SAR pada tgl 20 Januari 2009 pukul 21.30 Wita, dengan catatan jika ada informasi lebih lanjut dapat dilanjutkan kembali.
Pada hari kedua sejak kecelakaan ini Keluarga Toraja (GT) di Parepare membentuk Posko Peduli Korban Kapal Teratai Prima Keluarga Toraja. Yang terlibat dalam Posko ini adalah Tim Penanggulangan Bencana GT (Gereja Toraja) Klasis Parepare, Persekutuan Pemuda GT, dan Kerukunan Keluarga Masyarakat Toraja di Parepare. Posko GT adalah posko pertama yang dibentuk atas inisiatif masyarakat. Posko ini juga mendapat dukungan dari gereja-gereja yang ada di Parepare, seperti Gereja Katholik, GKI Sulsel, GTM dan Kibait. Kegiatan Posko ini adalah memfasilitasi keluarga korban untuk mendapatkan kepastian keberadaan keluarga mereka yang menjadi penumpang kapal. Aktivitas sehari-hari yang mereka lakukan adalah menyediakan tempat berteduh bagi keluarga korban yang datang ke Parepare dengan membangun tenda, menyediakan makanan, memulangkan jenazah yang ditemukan hingga menyediakan transportasi bagi keluarga korban yang akan kembali ke Tana Toraja. GT juga melaksanakan kebaktian keprihatinan di depan kantor Sinode GT di Rantepao. Memang korban terbanyak adalah berasal dari Tana Toraja. Jumlah penumpang yang berasal dari Toraja dan Supiran ada lebih dari 100 orang.
Setelah berakhirnya pencarian korban maka Posko ini berubah menjadi Tim Pendampingan & Advokasi Keluarga Korban Kapal Teratai Prima. Tim ini akan memberikan pendampingan berupa konseling/trauma healing bagi korban yang selamat dan keluarga korban dan advokasi agar ahli waris korban bisa mendapatkan hak-hak mereka berupa penggantian asuransi dan penggantian barang-barang bawaan yang hilang. Khusus untuk klaim asuransi dan penggantian barang Tim ini kelihatannya akan menghadapi tantangan yang berat karena administrasi dan kedisiplinan yang amuradul. Pertama, hanya 250 dari lebih 300 penumpang yang dicatat dalam manifes yang diktandatangai oleh otoritas Adpel (Adinistrasi Pelabuhan). Ada penumpang yang memiliki tiket resmi di agen perjalanan yang tidak dicatat, ada pula yang mengatakan bahwa biasanya bisa naik kapal tanpa tiket, nanti di kapal baru membayar kepada ABK. Kedua, dari 250 nama yang tercatat ada beberapa nama yang ditulis lebih dari satu kali. Ada kemungkinan memang ada lebih dari 1 orang yang bernama sama menjadi penumpang, tetapi bisa pula tiket itu dibeli oleh calo dan dijual kepada orang lain. Satu orang calo membeli beberapa tiket dengan namanya kemudian dijual. Ketiga, nama penumpang tidak ditulis dengan lengkap, hanya ditulis nama depannya saja, sehinga menyulikan untuk memastikan identitas korban. Keempat, ada nama yang ditulis salah; misalnya Erina ditulis Ina. Kelima, anak-anak dan bayi tidak ditulis dalam manifes karena tidak membayar. Keenam, penumpang tidak tahu apakah namanya terdaftar atau tidak karena manifes hanya ada di Adpel dan ABK. Semua ini tantangan yang berat dihadapi oleh Tim Pendampingan & Advokasi untuk membantu ahli waris korban mendapatkan hak-hak mereka.
Dari kecelakaan ini pembelajaran yang kita dapatkan adalah bahwa perlu kesadaran bahwa kecelakaan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Untuk mengantisipasi itu apabila naik alat transportasi umum mintalah tiket resmi agar memudahkan jika terjadi kecelakaan. Selain itu di Parepare sebetulnya pernah terjadi kecelakaan yang sama, tetapi pada saat terjadi kecelakaan kali ini penanganannya tetap belum baik. Kita belum siap untuk menangguangi bencana. Ini terlihat, menurut kesaksian seorang angota Posko Toraja bahwa Tim SAR Nasional baru mulai melakukan pencarian pada hari ketiga kecelakaan. Pada hari pertama dan kedua pencarian di pesisir pantai pada hari pertama dan kedua dilakukan oleh penduduk dan nelayan. Pada saat keluarga korban memenuhi Pelabuhan Cappa Ujung Parepare mereka kesulitan mendapatan informasi. Tidak ada juga yang menyedakan tempat berteduh dan makanan bagi mereka yang datang dari luar Parepare. Pada hari keempat barulah dibuka dapur umum dan dibangunkan tenda. Ternyata kita belum belajar bagaimana menangani bencana. Memang bencana tidak akan terjadi setiap hari, dan tidak kita inginkan, tetapi seharusnya kita siap jika itu terjadi. Sebagai anggota masyarakat kita juga perlu menyiapkan diri dengan segala antisipasi seandainya bencana menghampiri kita. Bagi pengelola angukatan umum perlu disediakan alat keselamatan yang cukup. Kemungkinan di kapal ini tdak cukup tersedia alat keselamatan dari kecelakaan. Misalnya di antara korban selamat yang ditemukan tidak ada satupun yang memakai pelampung (life vest), kecuali sekoci. Anehnya kapal yang tidak meneyediakan alat keselamatan jugamasih diijinkan beroperasi. (Iskandar Saher)

Pengikut